Selamat Datang di Constantine Community

Theologi
Budaya
Pendidikan

Sabtu, 26 Februari 2011

Ibadah doa penyembahan Orthodox

Ibadah Doa Penyembahan
Ortholatria merupakan kehidupan ibadah penyembahan dalam iman kristen orthodox kepada Allah Sang Tritunggal Maha Kudus. Anda akan menemukan doa-doa sembahyang harian umat orthodox, atau doa-doa yang dikenal dalam liturgi suci dan pengantar mengenai tradisi doa / ibadah yang dilakukan umat kristen orthodox.
Salah satu ciri khas dalam doa gereja orthodox adalah adanya permintaan bantuan doa dari para suci/jana suci saudara/saudari yang telah bersama-sama dengan Kristus di sorga. Hal yang wajar mengapa ? Karena kemenangan Kristus atas maut telah menyatukan antara Gereja Yang Telah Sempurna di sorga dan Gereja Yang Sedang Berjuang di bumi. Bukankah Kristus bersabda bahwa maut tidak akan menguasai GerejaNya. Pengantara Sejati doa-doa orang kristen orthodox adalah Tuhan Yesus Kristus itu sendiri karena beliaulah Sang Imam Agung Yang Sejati. Para Suci hanyalah memohon kepada Kristus itu sendiri, tak ubahnya kita minta bantuan dukungan doa kepada saudara-saudari dalam se-iman yang masih ada di dunia entah itu bapa imam, diakon, pakdhe, budhe, mbak, mas ... :) Seperti ajaran Rasul Yakobus : "... doa orang benar bila yakin didoakan maka sangat besar khasiatnya".
Seperti yang kebanyakan kata-kata doa yang diucapkan diakhir doa-doa liturgi/doa-doa sembahyang : "... melalui doa-doa para bapa suci dan para bunda suci ya Tuhan Yesus Kristus Allah sesembahan kami, kasihinilah kami dan selamatkanlah kami ... Amin"

Liturgi Suci Orthodox

Liturgi Ekaristi Dalam Gereja Orthodox
Kata Liturgi berarti “Bekerja” atau “Karya Umum”. Liturgi Suci adalah karya umum dari Gereja Orthodox, Karya resmi dari Gereja yang secara formal berkumpul sebagai umat pilihan Allah. Kata Gereja atau Eklessia berarti kumpulan atau synaxis dari orang-orang pilihan yang dipanggil keluar guna "melaksanakan" sebuah tugas panggilan tertentu.
Liturgi adalah karya umum dari orang Kristen Orthodox yang secara resmi berkumpul seraya membentuk Gereja Orthodox, dan juga sebuah aksi karya Gereja yang dikumpulkan oleh Allah guna menjadi satu di dalam satu komunitas penyembahan kepada Allah. Komunitas ini berkumpul menyembah, bernyanyi dan mendengar pewartaan Kabar Gembira dari Sabda Allah serta diajar dan diinstruksikan di dalam moral serta etika Kristen dalam semangat pertobatan dan mati raga. Ekaristi adalah sentral kehidupan Gereja, Gereja Kristus haruslah bersifat Ekaristis dan kehidupan yang ber-Ekaristi ini haruslah berinkarnasi dalam kehidupan sehari hari kita. Sebagaimana Kristus telah menjadi roti yang terpecah bagi kita, hendaknya hidup kita menjadi sebuah silih dan terbagi, bagi sesama kita, baik umat yang beriman dan yang belum beriman. Liturgi Ekaristi Suci wajib dilakukan pada Hari Tuhan yaitu Hari Minggu yang adalah Hari Kebangkitan, Hari setelah Hari Sabat (hari kedelapan) yang secara simbolis biblis adalah hari pertama dari penciptaan dan hari yang terakhir, atau yang dalam tradisi para Bapa Gereja disebut sebagai Hari Kedelapan dari Kerajaan Allah. Hari inilah Hari Kebangkitan Kristus dari kematian, Hari Penghakiman dan Kemenangan Ilahi yang telah dinubuatkan oleh para nabi, Hari Tuhan yang menetapkan kehadiran serta kuasa dari Kerajaan yang akan datang.
Liturgi Ekaristi Suci khususnya di dalam biara-biara Orthodox dan Katedral di mana Uskup berada, biasanya dirayakan setiap hari dan khususnya di hari-hari raya perayaan Gereja. Liturgi tidak diadakan pada hari-hari biasa di masa Pra-Paskah, dikarenakan Liturgi Suci selalu bersifat Paskah di dalam karakternya. Liturgi yang digunakan adalah Liturgi St. Gregorius yang adalah Liturgi tanpa konsekrasi, dikarenakan menggunakan Roti Ekaristi (Tubuh Kristus) yang dikonsekrasi di hari minggu pada masa tersebut.
Dalam Liturgi Suci semua umat Orthodox diundang untuk makan sehidangan dengan semua para suci, malaikat dengan seluruh jenjangnya, makan sehidangan dengan Sang Tritunggal Mahakudus serta Sang Theotokos Maria Bunda Allah. Siapa saja yang boleh turut ambil bagian dalam Ekaristi Suci ini? Adalah mereka yang telah diterima secara penuh di dalam Tubuh Kristus yaitu melalui Sakramen Pemandian (Baptisan) serta Sakramen Krisma Suci di dalam Gereja Orthodox. Hal ini berarti mereka walaupun kanak-kanak yang sudah menerima Baptisan dan Krisma diijinkan menerima Tubuh dan Darah Kristus yang mulia, inilah ekspresi ibadat tradisional dari Gereja Orthodox.
Oleh karena karakter umum dari Liturgi Suci ini maka Liturgi Suci tidak boleh dirayakan secara pribadi yang dimaksud disini Imam hanya merayakannya sendirian tanpa dihadiri oleh umat, dan tidak boleh untuk intensi-intensi pribadi dari umat. Liturgi adalah Karya Gereja bukan pribadi. Liturgi Suci tidak boleh dirayakan hanya bagi sebagian umat secara eksklusif tetapi harus bagi seluruh umat. Memang ada mungkin petisi-petisi khusus dalam litani bagi mereka yang sakit atau mereka yang sudah meninggal atau mereka yang membutuhkan bantuan khusus dan kekuatan doa, tetapi tidak ada Liturgi Suci yang dilakukan secara eksklusif bagi kepentingan individu secara pribadi.
Dikarenakan Liturgi Suci diadakan tanpa maksud lain selain menjadi doa teragung, penyembahan, pengajaran serta komunio secara umum bagi Gereja secara utuh di bumi dan di surga maka Liturgi Suci tidak boleh diangap hanya sekedar devosi yang teragung dan tertinggi. Liturgi Suci bukanlah sebuah devosi pribadi dan juga bukan hanya sekedar kebaktian doa pujian penyembahan dan bukan juga sekedar salah satu dari Sakramen Gereja. Liturgi Suci adalah Sakramen Kehidupan dari Gereja itu sendiri; manifestasi dari hakekat Gereja sebagai komunitas dari Allah di surga dan di bumi; sebuah pewahyuan yang unik dari Gereja sebagai Tubuh dan Mempelai Kristus.
Sebagai pusat karya mistika dari Gereja secara sepenuh dan utuh, maka Liturgi Suci selalu mempunyai semangat di dalam Kebangkitan Kristus. Liturgi Suci adalah manifestasi dari Kristus yang telah bangkit kepada umatNya. Liturgi Suci adalah pencurahan rahmat kasih setia karunia Roh Allah. Liturgi Suci adalah sebuah komunio yang sangat intim dengan Sang Bapa. Oleh karenanya di dalam Liturgi seluruh doa ditujukan kepada Sang Bapa yang telah memperanakkan Sang Sabda yang berinkarnasi menjadi manusia Yesus Kristus melalui Sang Theotokos dan yang selalu Perawan, Dia yang disalibkan, dikuburkan, bangkit, naik ke surga serta akan datang lagi untuk menghakimi semua manusia, Dia inilah yang yang diperanakkan oleh Sang Bapa sebelum segala zaman, Dia yang memberikan kehidupan, kebangkitan serta pengilahian kepada umat percaya melalui Sakramen Ekaristi yang dirayakan melalui Liturgi Suci ini. Liturgi Suci tidak pernah dirayakan dalam sifat pertobatan serta penyesalan dan tidak pernah dirayakan di dalam semangat kemuraman serta di dalam ekspresi kematian dari dunia ini. Liturgi Suci selalu dirayakan di dalam ekspresi serta pengalaman akan kehidupan kekal dari Kerajaan Sang Tritunggal Mahakudus yang terberkati.
Liturgi Suci yang dirayakan oleh Gereja Orthodox adalah Liturgi Suci St. Yohanes Krisostomos dan Liturgi Suci St. Basilius Agung yang dirayakan sepuluh kali dalam satu tahun, tahun penanggalan Gereja tentunya. Kedua liturgi ini berkembang sampai kepada bentuknya yang sekarang di abad ke-sembilan, tetapi Doa Ekaristi serta Anaphora dari kedua liturgi ini telah terformulasikan dalam Liturgi Suci pertama sejak abad ke-empat dan abad ke-lima oleh St. Yohanes Krisostomos dan St. Basilius Agung. Kiranya berkat dan rahmat Allah boleh turun atas kita semua.

Tarombo/Silsilah Batak dari SI Raja Batak

Silsilah dan Tarombo Batak dari Si Raja Batak

Bangsa Yang besar adalah bangsa yang melestarikan Kebudayaan.Berikut merupakan Silsilah/Tarombo Batak yang mungkin terlupakan seiring masuknya Budaya asing ke Bangsa Indonesia.

SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu:
1. Guru Tatea Bulan
2. Raja Isombaon

GURU TATEA BULAN
Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Bburning, Guru Tatea Bulan memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :
* Putra (sesuai urutan):
1. Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng), tanpa keturunan
2. Tuan Sariburaja (keturunannya Pasaribu)
3. Limbong Mulana (keturunannya Limbong).
4. Sagala Raja (keturunannya Sagala)
5. Silau Raja (keturunannnya Malau, Manik, Ambarita dan Gurning)

*Putri:
1. Si Boru Pareme (kawin dengan Tuan Sariburaja, ibotona)
2. Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan Sorimangaraja, putra Raja Isombaon
3. Si Boru Biding Laut, (Diyakini sebagai Nyi Roro Kidul)
4. Si Boru Nan Tinjo (tidak kawin).

Tatea Bulan artinya "Tertayang Bulan" = "Tertatang Bulan". Raja Isombaon (Raja Isumbaon)

Raja Isombaon artinya raja yang disembah. Isombaon kata dasarnya somba (sembah). Semua keturunan Si Raja Bbatak dapat dibagi atas 2 golongan besar:
1. Golongan Ttatea Bulan = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan. Disebut juga golongan Hula-hula = Marga Lontung.

2. Golongan Isombaon = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga Golongan Boru = Marga Sumba.

Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera Si Singamangaraja, para orangtua menyebut Sisimangaraja, artinya maha raja), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan Si Raja Batak.

PENJABARAN
* RAJA UTI
Raja Uti (atau sering disebut Si Raja Biak-biak, Raja Sigumeleng-geleng). Raja Uti terkenal sakti dan serba bisa. Satu kesempatan berada berbaur dengan laki-laki, pada kesempatan lain membaur dengan peremuan, orang tua atau anak-anak. Beliau memiliki ilmu yang cukup tinggi, namun secara fisik tidak sempurna. Karena itu, dalam memimpin Tanah Batak, secara kemanusiaan Beliau memandatkan atau bersepakat dengan ponakannya/Bere Sisimangaraja, namun dalam kekuatan spiritual etap berpusat pada Raja Uti.

* SARIBURAJA
Sariburaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis, satu peremuan satunya lagi laki-laki).

Mula-mula Sariburaja kawin dengan Nai Margiring Laut, yang melahirkan putra bernama Raja Iborboron (Borbor). Tetapi kemudian Saribu Raja mengawini adiknya, Si Boru Pareme, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest.

Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu Limbong Mulana, Sagala Rraja, dan Silau Raja, maka ketiga saudara tersebut sepakat untuk mengusir Sariburaja. Akibatnya Sariburaja mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan Si Boru Pareme yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, tetapi di hutan tersebut Sariburaja kebetulan bertemu dengan dia.

Sariburaja datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi "istrinya" di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan Si Boru Pareme di dalam hutan. Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang diberi nama Si Raja Lontung.

Dari istrinya sang harimau, Sariburaja memperoleh seorang putra yang diberi nama Si raja babiat. Di kemudian hari Si raja babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga Bayoangin.

Karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya, Sariburaja berkelana ke daeerah Angkola dan seterusnya ke Barus.

SI RAJA LONTUNG
Putra pertama dari Tuan Sariburaja. Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu:
* Putra:
1.. Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.
2. Sinaga raja, keturunannya bermarga Sinaga.
3. Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.
4. Toga nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.
5. Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.
6. Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.
7. Siregar, keturunannya bermarga Siregar.

* Putri :
1. Si Boru Anakpandan, kawin dengan Toga Sihombing.
2. Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.
Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing Simamora.

Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu.
Dari keturunan Situmorang, lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.

SINAGA
Dari Sinaga lahir marga-marga cabang Simanjorang, Simandalahi, Barutu.

PANDIANGAN
Lahir marga-marga cabang Samosir, Pakpahan, Gultom, Sidari, Sitinjak, Harianja.

NAINGGOLAN
Lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Lumban Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.

SIMATUPANG
Lahir marga-marga cabang Togatorop (Sitogatorop), Sianturi, Siburian.

ARITONANG
Lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare.

SIREGAR
Llahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.


* SI RAJA BORBOR
Putra kedua dari Tuan Sariburaja, dilahirkan oleh Nai Margiring Laut. Semua keturunannya disebut Marga Borbor.

Cucu Raja Borbor yang bernama Datu Taladibabana (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :

1. Datu Dalu (Sahangmaima).
2. Sipahutar, keturunannya bermarga Sipahutar.
3. Harahap, keturunannya bermarga Harahap.
4. Tanjung, keturunannya bermarga Tanjung.
5. Datu Pulungan, keturunannya bermarga Pulungan.
6. Simargolang, keturunannya bermarga Imargolang.

Keturunan Datu Dalu melahirkan marga-marga berikut :
1. Pasaribu, Batubara, Habeahan, Bondar, Gorat.
2. Tinendang, Tangkar.
3. Matondang.
4. Saruksuk.
5. Tarihoran.
6. Parapat.
7. Rangkuti.

Keturunan Datu Pulungan melahirkan marga-marga Lubis dan Hutasuhut.

Limbong Mulana dan marga-marga keturunannya
Limbong Mulana adalah putra ketiga dari Guru Tatea Bulan. Keturunannya bermarga Limbong yang mempunyai dua orang putra, yaitu Palu Onggang, dan Langgat Limbong. Putra dari Langgat Limbong ada tiga orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga Sihole, dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga Habeahan. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu Limbong.

SAGALA RAJA
Putra keempat dari Guru Tatea Bulan. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga Sagala.

SILAU RAJA
Silau Raja adalah putra kelima dari Guru Tatea Bulan yang mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Malau
2. Manik
3. Ambarita
4. Gurning

Khusus sejarah atau tarombo Ambarita Raja atau Ambarita, memiliki dua putra:
I. Ambarita Lumban Pea
II. Ambarita Lumban Pining

Lumban Pea memiliki dua anak laki-laki
1. Ompu Mangomborlan
2. Ompu Bona Nihuta
Berhubung Ompu Mangomborlan tidak memiliki anak/keturunan laki-laki, maka Ambarita paling sulung hingga kini adalah turunan Ompu Bona Nihuta, yang memiliki anak laki-laki tunggal yakni Op Suhut Ni Huta. Op Suhut Nihuta juga memiliki anak laki-laki tunggal Op Tondolnihuta.

Keturunan Op Tondol Nihuta ada empat laki-laki:
1. Op Martua Boni Raja (atau Op Mamontang Laut)
2. Op Raja Marihot
3. Op Marhajang
4. Op Rajani Umbul

Selanjutnya di bawah ini hanya dapat meneruskan tarombo dari Op Mamontang Laut (karena keterbatasan data. Op Mamontang Laut menyeberang dari Ambarita di Kabupaten Toba Samosir saat ini ke Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Hingga tahun 2008 ini, keturunan Op Mamontang laut sudah generasi kedelapan).

Op Mamontang Laut semula menikahi Boru Sinaga, dari Parapat. Setelah sekian tahun berumah tangga, mereka tidka dikaruniai keturunan, lalu kemudian menikah lagi pada boru Sitio dari Simanindo, Samosir.

Dari perkawinan kedua, lahir tiga anak laki-laki
1. Op Sohailoan menikahi Boru Sinaga bermukim di Sihaporas Aek Batu
Keturunan Op Sohailoan saat ini antara lain Op Josep (Pak Beluana di Palembang)

2. Op Jaipul menikahi Boru Sinaga bermukin di Sihaporas Bolon
Keturunan antara lain J ambarita Bekasi, dan saya sendiri (www.domu-ambarita.blogspot.com atau domuambarita@yahoo.com)

3. Op Sugara atau Op Ni Ujung Barita menikahi Boru Sirait bermukim di Motung, Kabupaten Toba Samosir.
Keturunan Op Sugara antara lain penyanyi Iran Ambarita dan Godman Ambarita


TUAN SORIMANGARAJA
Tuan Sorimangaraja adalah putra pertama dari Raja Isombaon. Dari ketiga putra Raja Isombaon, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :
1. Si Boru Anting Malela (Nai Rasaon), putri dari Guru Tatea Bulan.
2. Si Boru Biding Laut (nai ambaton), juga putri dari Guru Tatea Bulan.
c. Si Boru Sanggul Baomasan (nai suanon).

Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Djulu (Ompu Raja Nabolon), gelar Nai Ambaton.

Si Boru Biding Laut melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Jae (Raja Mangarerak), gelar Nai Rasaon.

Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar Nai Suanon.
Nai Ambaton (Tuan Sorba Djulu/Ompu Raja Nabolon)

Nama (gelar) putra sulung Tuan Sorimangaraja lahir dari istri pertamanya yang bernama Nai Ambaton. Nama sebenarnya adalah Ompu Raja Nabolon, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga Nai Ambaton menurut nama ibu leluhurnya.

Nai Ambaton mempunyai empat orang putra, yaitu:
1. Simbolon Tua, keturunannya bermarga Simbolon.
2. Tamba Ttua, keturunannya bermarga Tamba.
3. Saragi Tua, keturunannya bermarga Saragi.
4. Munte Tua, keturunannya bermarga Munte (Munte, Nai Munte, atau Dalimunte).
Dari keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung):

SIMBOLON
Lahir marga-marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Nahampun, Pinayungan. Juga marga-marga Berampu dan Pasi.

TAMBA
Lahir marga-marga Siallagan, Tomok, Sidabutar, Sijabat, Gusar, Siadari, Sidabolak, Rumahorbo, Napitu.

SARAGI
Lahir marga-marga Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke.

MUNTE
Lahir marga-marga Sitanggang, Manihuruk, Sidauruk, Turnip, Sitio, Sigalingging.

Keterangan lain mengatakan bahwa Nai Ambaton mempunyai dua orang putra, yaitu Simbolon Tua dan Sigalingging. Simbolon Tua mempunyai lima orang putra, yaitu Simbolon, Tamba, Saragi, Munte, dan Nahampun.

Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluih-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antarsesama marga keturunan Nai Ambaton.

Catatan mengenai Ompu Bada, menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W Hutagalung, Ompu Bada tersebut adalah keturunan Nai Ambaton pada sundut kesepuluh.

Menurut keterangan dari salah seorang keturunan Ompu Bada (mpu bada) bermarga gajah, asal-usul dan silsilah mereka adalah sebagai berikut:
1. Ompu Bada ialah asal-usul dari marga-marga Tendang, Bunurea, Manik, Beringin, Gajah, dan Barasa.
2. Keenam marga tersebut dinamai Sienemkodin (enem = enam, kodin = periuk) dan nama tanah asal keturunan Empu Bada, pun dinamai Sienemkodin.
3. Ompu Bada bukan keturunan Nai Ambaton, juga bukan keturunan si raja batak dari Pusuk Buhit.
4. Lama sebelum Si Raja Batak bermukim di Pusuk Buhit, Ompu Bada telah ada di tanah dairi. Keturunan Ompu bada merupakan ahli-ahli yang terampil (pawang) untuk mengambil serta mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.
5. Keturunan Ompu Bada menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah dairi dan tapanuli bagian barat.

NAI RASAON (RAJA MANGARERAK)
Nama (gelar) putra kedua dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri kedua tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Rasaon. Nama sebenarnya ialah Raja Mangarerak, tetapi hingga sekarang semua keturunan Raja Mangarerak lebih sering dinamai orang Nai Rasaon.

Raja Mangarerak mempunyai dua orang putra, yaitu Raja Mardopang dan Raja Mangatur. Ada empat marga pokok dari keturunan Raja Mangarerak:

Raja Mardopang
Menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga Sitorus, Sirait, dan Butar-butar.

Raja Mangatur
Menurut nama putranya, Toga Manurung, lahir marga Manurung. Marga pane adalah marga cabang dari sitorus.

NAI SUANON (tuan sorbadibanua)
Nama (gelar) putra ketiga dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Suanon. Nama sebenarnya ialah Tuan Sorbadibanua, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai Ttuan Sorbadibanua.

Tuan Sorbadibanua, mempunyai dua orang istri dan memperoleh 8 orang putra.
Dari istri pertama (putri Sariburaja):
1. Si Bagot Ni Pohan, keturunannya bermarga Pohan.
2. Si Paet Tua.
3. Si Lahi Sabungan, keturunannya bermarga Silalahi.
4. Si Raja Oloan.
5. Si Raja Huta Lima.

Dari istri kedua (Boru Sibasopaet, putri Mojopahit) :
a. Si Raja Sumba.
b. Si Raja Sobu.
c. Toga Naipospos, keturunannya bermarga Naipospos.

Keluarga Tuan Sorbadibanua bermukim di Lobu Parserahan - Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, Tuan Sorbadibanua menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata Si Raja huta lima terkena oleh lembing Si Raja Sobu. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh Tuan Sorbadibanua. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang tiga orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki Gunung Dolok Tolong sebelah barat.

Keturunana Tuan Sorbadibanua berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.
Keturunan Si Bagot ni pohan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Tampubolon, Barimbing, Silaen.
2. Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Nasution.
3. Panjaitan, Siagian, Silitonga, Sianipar, Pardosi.
4. Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede.

Keturunan Si Paet Tua melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Hutahaean, Hutajulu, Aruan.
2. Sibarani, Sibuea, Sarumpaet.
3. Pangaribuan, Hutapea.

Keturunan si lahi sabungan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Sihaloho.
2. Situngkir, Sipangkar, Sipayung.
3. Sirumasondi, Rumasingap, Depari.
4. Sidabutar.
5. Sidabariba, Solia.
6. Sidebang, Boliala.
7. Pintubatu, Sigiro.
8. Tambun (Tambunan), Doloksaribu, Sinurat, Naiborhu, Nadapdap, Pagaraji, Sunge, Baruara, Lumban Pea, Lumban Gaol.

Keturunan Si Raja Oloan melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Naibaho, Ujung, Bintang, Manik, Angkat, Hutadiri, Sinamo, Capa.
2. Sihotang, Hasugian, Mataniari, Lingga.
3. Bangkara.
4. Sinambela, Dairi.
5. Sihite, Sileang.
6. Simanullang.

Keturunan Si Raja Huta Lima melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Maha.
2. Sambo.
3. Pardosi, Sembiring Meliala.

Keturunan Si Raja Sumba melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Simamora, Rambe, Purba, Manalu, Debataraja, Girsang, Tambak, Siboro.
2. Sihombing, Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, Sitindaon, Binjori.

Keturunan Si Raja Sobu melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Sitompul.
2. Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutatoruan, Simorangkir, Hutapea, Lumban Tobing, Mismis.

Keturunan Toga Naipospos melahirkan marga dan marga cabang berikut:
1. Marbun, Lumban Batu, Banjarnahor, Lumban Gaol, Meha, Mungkur, Saraan.
2. Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang.

(Marbun marpadan dohot Sihotang, Banjar Nahor tu Manalu, Lumban Batu tu Purba, jala Lumban Gaol tu Debata Raja. Asing sian i, Toga Marbun dohot si Toga Sipaholon marpadan do tong) ima pomparan ni Naipospos, Marbun dohot Sipaholon. Termasuk do marga meha ima anak ni Ompu Toga sian Lumban Gaol Sianggasana.

***

DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)
Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga).

Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut:

"Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;
Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan"

artinya:

"Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput (berakar tunggang);
Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji"

Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah:
1. Marbun dengan Sihotang
2. Panjaitan dengan Manullang
3. Tampubolon dengan Sitompul.
4. Sitorus dengan Hutajulu - Hutahaean - Aruan.
5. Nahampun dengan Situmorang.
(Disadur dari buku "Kamus Budaya Batak Toba" karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987)

Dinasti Sinambela Guru Patimpus Pendiri Kota Medan

DINASTI SINAMBELA (Guru Patimpus di Medan)

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.
Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II. Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.
Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.
Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.
Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasainya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut tarombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :

Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.

1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperluas kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama "Komisi Pengelola Dana Kotamadya", yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan "Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329", lembaga lain dibentuk yaitu "Afdeelingsraad Van Deli" (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika "Cultuuraad" (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.
Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa. Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.
Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).
Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Asal kata Deli untuk Kota Medan

Menurut Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.
Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.
Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.
Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.
Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli, di dalamnya termasuk kota Medan, yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.
Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu sebab mengapa Medan kemudian disebut Deli. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.

Guru Patimpus Sinambela

Sultan Sinambela (Guru Patimpus)

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.

Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.

Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.

Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.

Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.

Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.

Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.

Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.

Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :

Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.

1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"

Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.

Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.

Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.

Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an

Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.

Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.

Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.

Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)

Orthodox St. Agustinus

St. Agustinus dan Syahadat yang Diubah

oleh Persatuan Gereja Orthodox Indonesia pada 20 Januari 2011 jam 10:32

Santo Agustinus dalam Tradisi Orthodox Yunani
By Rev. Dr. George C. Papademetriou

Dalam beberapa dekade akhir, bukan hanya teologinya bahkan sosok Agustinus itu sendiri dianggap sebagai heretik (bidat-penerj) oleh beberapa teolog dalam Gereja Orthodox. Suatu serangan pada pribadinya menjadikan segelintir teolog, mengeluarkannya dari daftar para suci. Sementara itu, yang lain menyerukan teologi Orthodox untuk mengevaluasi dan menyusun kembali pribadi Agustinus bagi tempatnya yang sesungguhnya sebagai seorang teolog­-filsuf agung dari Gereja semesta.
Dalam tatanan untuk menjernihkan keberadaan Agustinus berkenaan kepada ke­Orthodoxi-an Yunani-nya, tesis saya dalam artikel ini menyatakan dia sebagai seorang “suci” dari Gereja dan tidak akan pernah menghapusnya dari daftar para suci. Adalah benar bahwa beberapa pengajarannya begitu tingginya dikritik dan dicap sebagai heretik, namun ini terjadi setelah kematiannya. Kontroversi doktrinal yang teramat sangat penting yang berkisar di sekitar namanya adalah filioque. Doktrin lain yang tidak diterima oleh Gereja adalah pandangannya tentang dosa asal, doktrin rahmat, dan predestinasi. Penekananku dalam artikel ini adalah untuk menghadirkan tulisan-tulisan Orthodox, baik itu yang kuno maupun modern, mengenai pribadi dan teologi Agustinus.

SANTO PHOTIOS
St. Photius
 Teolog utama-pertama dari Gereja Orthodox yang mendekat untuk mencengkeram filioque adalah Santo Photius yang juga berurusan dengan pribadi Santo Agustinus. Dia membuat argumen yang menyatakan bahwa seorang suci yang keliru mengenai suatu doktrin yang disusun sesudah dia mati adalah tidak layak dianggap bersalah sebagai heretik dan bahwa kekudusan dari pribadi itu tidaklah berkurang. Dalam kasus Agustinus ini, Santo Photius menduga bahwa tulisan-tulisannya di-distorsif-kan. Photius bertanya, “Bagaimana bisa seseorang yang terpercaya, yang setelah selang beberapa tahun, tulisan-tulisannya tidaklah distorsif ?”[1] Santo Photius bersikeras bahwa sekalipun tulisan-tulisan itu otentik dan orang Latin mengutip tulisan-tulisan tersebut untuk mendukung pengajaran-pengajaran palsu mereka, mereka melakukan sebuah tindakan yang merugikan bagi bapa-bapa Gereja ini. Photius menyatakan, “Bacalah Ambrosius atau Agustinus atau bapa gereja mana saja yang engkau pilih : yang manakah dari mereka yang berkeinginan mengiyakan apapun yang berlawanan dengan suara sang Guru ?” Lebih jauh, dia berkata :"Walaupun Para Bapa (St. Agustinus, St. Ambrosius, St. Jerome) yang mengajarkan pendapat-pendapat yang demikian (Filioque), namun mereka tidak mengurangi, menambah atau mengubah pernyataan-pernyataan yang benar itu (Syahadat), lalu kemudian engkau (Katolik Roma) mengajarkan kata-katamu sebagai sebuah dogma juga, ini adalah fitnah lainnya yang melawan bapa-bapamu, menambahkan pendapat ke-egoan-mu ke dalam pengajaran dari para bapa ini”. [12] 
Photius berargumen bahwa meskipun para bapa ini diberkahi dengan kekudusan, mereka di saat yang sama adalah manusia dan tidak lepas dari kesalahan. Dan juga Photius menasihali orang-orang Latin untuk “membiarkan” Ambrosius dan Agustinus apa adanya. Dia menyatakan: “Meskipun mereka dihiasi dengan bayangan kemuliaan, mereka adalah manusia. Jika mereka tergelincir dan jatuh dalam kesalahan, oleh beberapa kelalaian atau kekeliruan, baiklah kita tidak melawannya atau memperdebatkan mereka. Karena, apakah untungnya bagimu ?” [3] 
Walaupun Agustinus dan Ambrosius memakai filioque, mereka tidaklah bermaksud untuk memasukkannya ke dalam Kredo. Penambahan filioque kepada Kredo adalah menyakitkan bagi Orthodox Yunani. Photius membuat ini nyata dalam pemyataan berikut :
“Karena mereka tidak, bahkan dalam tingkatan yang paling rendah, ikut serta dalam segala sesuatu itu, yang membuat engkau bertumbuh. Mereka yang lebih dihiasi dengan banyak teladan-teladan kebajikan dan kesalehan kemudian memasyurkan tiap pengajaranmu melalui kelalaian atau kekeliruan tidak akan pernah ditentukan sebagai dogma”. [14] 
Photius berpendapat bahwa para bapa, termasuk Ambrosius dan Agustinus, tidak mengajarkan kesalahan, namun jika mereka melakukannya, mereka adalah manusia, dan tak seorangpun manusia terbebas dan kesalahan. Dia berkata, “karena mereka adalah manusia seutuhnya (anthropoi) dan diciptakan, dan tak ada seorangpun yang disusun dari debu dan kodrat yang sementara saja dapat terhindar dari beberapa langkah dari kecemaran”. [5] 
Photius bersikeras bahwa meskipun orang suci tersebut, Ambrosius dan Agustinus, mungkin saja mengajarkan doktrin yang keliru mengenai filioque, tetapi mereka itu adalah
bagian terkecil. Mayoritas dari para bapa gereja, consensus partum, berada pada sisi doktrin yang benar dan yang harus kita ikuti. Photius menyatakan: “Jikalau Ambrosius, Agustinus dan Jerome yang agung serta beberapa lainnya yang adalah berpendapat sama dan pada tingkatan yang sama dan di saat yang sama memiliki reputasi besar akan kebajikan dan kehidupan yang masyur, mengajar diantara yang lain, bahwa sang Roh Kudus juga keluar dari sang Putera, hal ini tidaklah mengurangi pentingnya mereka bagi Gereja”. [6] 
Photius melanjutkan dalam paragrap yang sama, berargumen bahwa, adalah yang jelas dan utama untuk mengatakan pada mereka (Latin) bahwa, jika sepuluh atau bahkan duapuluh dari bapa gereja yang berbicara dalam hal yang sama itu, ribuan (myrion) dari bapa gereja tidak mengatakan hal-hal yang seperti itu. Dia berkata, “Siapakah kemudian yang mencerca bapa-bapa itu?” Dan, “Bukankah mereka yang terbatas kesalehannya dari bapa-bapa yang sedikit dalam kata-kata mereka yang diucapkan dan menaruhnya dalam pertentangan kepada sinode dan melebihkan yang sedikit kepada para bapa yang jumlahnya lebih besar yang mempertahankan doktrin sejati ?” Dia melanjutkan untuk bertanya pada orang Latin demikian, “Siapakah yang menjadi pelanggar (huvristes) dari Agustinus dan Jerome serta Ambrosius yang suci (ieron)? Bukankah dia yang memaksakan mereka untuk datang ke dalam pertentangan dengan majelis para Guru dan Pengajar? Atau apakah dia yang tidak melakukan apapun, namun meminta (axion) untuk mengikuti statuta dari para Guru ?” [7] 
Santo Photius menyarankan untuk membiarkan para bapa gereja Latin tersebut apa adanya, yang mana doktrin-doktrinnya berada dalam konflik dengan keputusan dari Kitab Suci dan Konsili-Konsili Ekumenis, karena dengan menggunakan mereka untuk mendukung kesalahan­-kesalahan dari orang-orang Latin, mereka membuka kesalahan-kesalahan dari orang-orang saleh ini. Respek yang pantas bagi orang-orang suci ini adalah mendiamkan kelemahan-kelemahan mereka.[8]
Lebih lanjut lagi, Photius menyarankan bahwa seseorang harusnya simpatik dengan bapa-bapa ini karena teologi mereka pada masa dari kebingungan kesejarahan yang mengarahkan mereka dari kesalahan­-kesalahan beberapa doktrin. Jadi, Photius mempertahankan bahwa dia yang mati, tidaklah hadir untuk membela dirinya sendiri dan tak seorangpun yang lain dapat mengerjakan pembelaannya. Dan karena alasan itu, tak seorang pun menduga akan membuat suatu dakwaan melawan dia (kategoros). [9]
Photius beralasan bahwa pada Konsili bersama tahun 879-880, utusan dari Roma Lama (Vatikan-penerj.) setuju dengan teologi dari Roma Baru (Konstantinopel-penerj.), bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa. Pada konsili itu semua setuju mengenai Kredo Kudus dan Konsili-Konsili Ekumenis menyegelnya dengan tanda tangan iman mereka bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa; dan bahwa Roma Lama dalam pribadi dari Paus Yohanes melalui wakil­-wakilnya (topoteritai) berada dalam komuni dengan Photius dan Gereja Konstantinopel karena mereka berada dalam kesesuaian dalam teologi mereka. [10]
lnilah bukti nyata yang jelas dari awalnya bahwa Photius tidak meniadakan Agustinus dari daftar para suci dan bapa-bapa Gereja, walaupun dia menerima bahwa Agustinus, sebagai seorang manusia, keliru dalam beberapa masalah-masalah doktrinal. Ini adalah penjelajahanku dari beberapa referensi yang berkenaan pada Agustinus dalam tulisan dari Santo Photius. Kekudusan dan kebajikan adalah permanen dalam kedengkian dari kelemahan manusia yang jatuh ke dalam kegagalan. Agustinus, di mata Santo Photius dan orang-orang Byzantin, tetap tinggal sebagai salah seorang dari para bapa Gereja Barat-Latin.


HESIKASME DAN AGUSTINUS

Agustinus pada dirinya sendiri tidaklah secara pribadi diserang oleh para Hesikasme (pelaku perenungan diri mendalam­penerj) dari abad ke empat belas namun teologi Agustinus dihukum dalam pribadi Barlaam, yang menyebabkan kontroversi. Hasil akhir ini menuai penghukuman pada para pengikut Agustinian barat yang dihadirkan di Timur oleh rahib Salabrian, Barlaam, dalam Konsili-Konsili dari abad ke empat belas.
Palamas, sang protagonist (penyokong-penerj.) Orthodox, menulis banyak risalah-risalah melawan filioque dan dasar presuposisi (asumsi-asumsi-penerj.) teologikal filsafat dari teologi Latin. Santo Gregorius Palamas mengikuti presuposisi teologikal para Bapa Kappadokia dan mempertahankan bahwa esensi Allah sepenuhnya transenden dan mendukung bukti akan partisipasi pribadi dalam energi-energi yang tak terciptakan. Bahwa adalah, dia menentang identitas dari esensi yang dipertalikan dalam Allah. Konflik dari teologi pewahyuan ini didasarkan pada Agustinian, yang berasal dari Barat melalui Barlaam, yang menimbulkan reaksi penentangan. Pewahyuan bagi Palamas adalah secara langsung dialami dalam energi-energi ilahi dan adalah menolak untuk meng-konseptualisasi-kan pewahyuan. Pandangan para Agustinian akan pewahyuan melalui penciptaan simbol-simbol dan penerangan visi, ditolak. Bagi Agustinian, visi Allah adalah sebuah pengalaman intelektual. lni tidak diterima oleh Palamas. Penekanan Palamas adalah bahwa sang ciptaan, termasuk manusia dan para malaikat, tidak dapat mengetahui atau memahami esensi Allah. [11]
Dalam pribadi Barlaam, Timur menolak teologi Agustinus. Timur menduga bahwa Agustinian menerima presuposisi neo-Platonik, bahwa yang suci mampu untuk memperoleh visi dari esensi ilahi sebagaimana pola dasar dari segenap yang ada. Barlaam berpendapat dibawah pengaruh neo-Platonis yang melalui ekstasis, penyebab keluarnya jiwa dari tubuh ketika dipergunakan dalam cara yang murni, seseorang yang memiliki visi dari pola dasar yang ilahi. Palamas menyebut ini kegagalan berhala Yunani dan mempertahankan bahwa manusia mencapai theosis melalui partisipasi dalam energi-energi ilahi. [12]
Belakangan, karena alasan politis, para kaisar Byzantin berusaha bersatu dengan Roma untuk menyelamatan kekaisaran. Sang Kaisar, Patriarkh dan sebuah delegasi datang ke Ferrara pada tahun 1438 untuk ikut serta pada sebuah konsili dengan sang Paus dan membawa penyatuan di antara orang-orang Yunani dan orang-orang Latin.
Dalam perdebatan antara orang-orang Yunani dan Latin, berkali-­kali kewenangan dari Agustinian mengemuka. Teolog Orthodox Yunani yang tidak mau menyerah, Mark Eugenikos, menggunakan karya Agustinus untuk mendukung pandangan-pandangannya. Dalam memandang pada kesalahan-kesalahan Agustinus, dia mencoba menempatkannya dalam terang terbaik yang paling mumpuni, mengikuti teladan Santo Photius. Dia membuat referensi pada Santo Gregorius Nyssa yang setuju dengan doktrin-doktrin Origenes. Dia berkata, “adalah akan lebih baik untuk memberikan mereka kebungkaman, dan tidak sepenuhnya memaksa kita, karena demi pembelaan kita, untuk membawa mereka keluar melalui pintu terbuka”. [13]

SANTO GENNADIUS SCHOLARIUS

Juga hadir pada Konsili di Ferrara-Florence, seorang teolog yang hebat, Gennadius Scholarius. Dia memahami bangsa Latin dan teologi Latin. Dia menterjemahkan beberapa risalah-risalah dari Thomas Aquinas ke dalam bahasa Yunani demi untuk kemudahan-kemudahan dari rekan-rekannya. Dia menghabiskan begitu banyak waktu mempelajari dan menulis mengenai Agustinus dalam debat tentang filioque. Scholarius mendekati Santo Agustinus dan semua bapa-bapa gereja yang lain sebagai individu-individu yang harus disesuaikan dengan dogma-­dogma dan pengajaran Gereja. Dia berkata, “kita percaya dalam Gereja; mereka (orang Latin) dalam Agustinus dan Jerome.” Gereja memegang teguh kepada dogma dan pengajaran Tuhan kita yang secara menyeluruh telah diberikan melalui para rasul dan konsili-konsili. [14]
Gennadius mengekspresikan pendapatnya bahwa tiada individu pribadi yang adalah “santo” dalam pengasingan. Dalam mana kasus bahwa Gereja akan patuh kepada para pengajar dan berubah menurut kepada pola tingkah personalitas yang kuat.
Gereja memiliki ukuran-ukurannya dan hukumnya sendiri untuk menyucikan seorang pribadi. Para suci dibimbing dan diarahkan melalui sang Roh Kudus, secara khusus mereka yang memiliki keutamaan dalam kebajikan dan kekudusan. Bimbingan sang Roh Kudus bagi para suci ini bukan berarti bahwa mereka adalah satu. Para suci memiliki pikiran-pikiran mereka sendiri yang dapat saja bertolak belakang dengan pengajaran Allah, demikian juga tindakan-tindakan mereka, karena tiada seorangpun yang tanpa kesalahan atau dosa (hamartema). [l5]
Pada titik ini, bahwa para suci dapat salah, Scholarius memperkuat argumennya melawan orang-orang Latin yang mendasarkan doktrin palsu mereka dari filioque mengenai validitas dan kekudusan Agustinus. Scholarius mengkonstruksi kasusnya sebagai berikut: "Mereka (Katolik Roma) menyatakan bahwa yang terberkati St. Agustinus mengatakan hal­-hal ini (Penambahan kata "Filioque" dalam Syahadat). Namun kita tidak percaya satu manusia pun baik dalam St. Agustinus maupun dalam St. Yohanes Damaskinos, tetapi kepercayaan kita didasarkan dalam Gereja yang mana Kitab Suci yang kanonikal ditegaskan dan juga dimana Sinode-Sinode menyeluruh (Konsili) dari umat beriman dipercayai, inilah Gereja Kristus." . [16]
Contoh lain yang dia berikan adalah Gregorius Nyssa yang keliru mengenai doktrin eskatologi dan juga adalah seorang santo dari Gereja [17]. Dalam semua diskusi ini mengenai “Agustinus yang terberkati,” Scholarius tidak menolak kekudusan dan nilai pengajaran Agustinus. Dalam kenyataannya dia mengutuk mereka yang menolak kekurangsuciannya. Dia berkata: “barangsiapa yang tidak percaya dan tidak menyebut Agustinus suci dan terberkati, dia dikutuk.” [l8]
Dalam menjelaskan permasalahan ini, Scholarius beralasan bahwa doktrin-doktrin dari teolog barat harusnya dinilai menurut pada standar Kristen Orthodox Timur. lni karena kejelasan dari bahasa Yunani. Dia memberikan tiga argumen dalam mempertahankan posisi Kekristenan Timur sebagai yang unggul : bahwa bahasa Yunani lebih luas dan fleksibel daripada bahasa Latin demikian juga lebih jelas dalam arti. Dan, tentu saja, bahasa Yunani adalah sumber dan bahasa Latin. Dia memberi rujukan pada Agustinus, Athanasius, dan Gregorius sang Teolog yang menyatakan bahwa bahasa Latin sangat terbatas dan penyebab dan skisma antara Timur dan Barat.
Alasan kedua adalah rumusan dogma jelas dinyatakan dalam bahasa Yunani.[19] Bapa-bapa dan pengajar Timur merumuskan dogma­-dogma itu dengan amat sangat teliti karena mereka berjuang melawan doktrin-doktrin heretik. Karena alasan ini, rumusan dogma sangat mereka butuhkan untuk mengartikulasikan iman dengan ketelitian tinggi dalam tataran tidak untuk memberi para heretik kesempatan untuk menyerang mereka karena ketidak-akuratan dan ketidakjelasan mereka. [20]
Alasan ketiga yang dia berikan adalah bahwa dogma diberlakukan dalam bahasa Latin untuk mengekspresikan dirinya sendiri dalam terma-­terma universal dan umum (katholikoterais kai genidoterais lexesi), sebaliknya di Timur, para Bapa Gereja menggunakan nama-nama spesifik dan tepat (idikoterois onomasi) dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin Kekristenan. [21]
Scholarius mengemukakan bahwa Agustinus menerima dan mengembangkan fllioque atas dasar empat presuposisi sbb :

Agustinus berada dibawah pengaruh Hilarius yang diikutinya dan gurunya, Ambrosius. Dia menunjuk pada Jerome, yang memperoleh pendidikan di Timur dalam bahasa Yunani, terhindar dari bahasa filioque. Perbedaan antara Hilarius dan Ambrosius pada satu sisi dan Agustinus pada sisi yang lain adalah bahwa dua bapa Gereja yang pertama mengekspresikan sebuah pendapat pribadi sebaliknya Agustinus berjuang melawan segenap mereka yang mengekspresikan pandangan-pandangan berlawanan dengannya.[22]

Mengenai dasar Kitab Suci yang menyatakan bahwa sang Roh sebagai kuasa yang dikeluarkan dari sang Putera untuk menyembuhkan segenap yang sakit, demikian halnya sang Putera yang mengirim dan menghembuskan sang Roh pada para Rasul, Agustinus mentafsirkan bagian tersebut pada dasar dari pendapat Hilarius dan Ambrosius. [23]

Agustinus menggunakan model-model kemanusiaan yang melampaui batas-batas untuk menggambarkan Tritunggal Mahakudus dan karena alasan itulah dia jatuh dalam kesalahan.[24]

Agustinus mengikuti posisi Platonik bahwa Allah pada dasarnya adalah sang Baik (Agathon). Sang Baik secara kekal menurunkan (Aidios) sang Akal (Nous). Sang Akal adalah penyebab dari segala sesuatu dan adalah juga disebut penyebab kedua, dan menunjuk pada “idea” dan “logos”. Dari akal, jiwa dunia memperoleh vitalitas bagi segenap mahluk yang hidup. Jadi, Scholarius menganggap bahwa Agustinus mentransfer pandangan ini ke dalam Trinitas Kekristenan. Sang “Baik” (Agathon) adalah tidak diperanakkan dan tidak terbatasi untuk dipahami (agenneton). Sang Akal (Nous) adalah diperanakkan hanya dari sang Baik. Sang Jiwa diturunkan dari sang Akal dan kembali kepada sang Baik. Sang Jiwa adalah koneksi relasional sebagai kasih antara sang Baik dan sang Akal. Pandangan-pandangan tersebut tidak hanya diterima oleh Plato, namun juga oleh Plotinus demikian halnya oleh sebagian besar heretik.[25]

Scholarius menyalahkan Agustinus karena pendekatan filosofisnya yang terkenal buruk bagi pewahyuan. Hal ini adalah pengaruh Manikeisme yang Agustinus alami pada waktu pra-Kristennya dalam keterlibatan dengan para heretik itu. Keberhalaannya dan teladan Manikeisme tetap ada tersisa dalam segenap kehidupannya. Faktanya, Scholarius berkata “Tuhan melepaskan kita dari dialektika Agustinian. “ [26]
Scholarius menerima bahwa Agustinus percaya dalam iman dari Gereja dan menyetujui Kredo Konstantinopolitan, [27] dalam kedengkian dari kenyataan bahwa dia keliru sebagai seorang individu manusia, [28] lni tidaklah menjauhkannya dari kekudusannya. Bagi Scholarius, Agustinus adalah pribadi “terberkati” bahkan “bijaksana” yang patut memperoleh pujian dan hormat [29]. Dia amat mengkritisi teologi Agustinus karena dia merasa bahwa dia tidak terlepas dari pengaruh pada saat berkutat dengan filsafat pagan Yunaninya sebelum dia berpindah ke Kristen.

PERIODE MODERN

Teolog Orthodox Yunani terkemuka abad ke tujuh belas, Dositheos, Patriarkh Yerusalem, menentang bahwa karya-karya dari Santo Agustinus dirusakkan dengan dan doktrin-doktrinnya yang distorsif. Karena alasan itu Orthodox tidak menerima mereka tanpa kehati-hatian. Tetapi seluruh karya mereka yang bersesuaian dengan ke-Orthodoxi-an amat sangat diterima. Dositheos sendiri menggunakan Agustinus yang “terberkati” untuk mendukung pandangan-pandangannya akan doktrin­-doktrin Orthodox. [30]
Teolog kenamaan dari abad ke delapan belas, Nikodemus Hagiorite, memasukkan nama Santo Agustinus dalam Synaxarites (buku para suci). Dia menyatakan sebagai berikut: “Dalam mengenang bapa kita diantara para suci, Agustinus, Uskup Hippo.” [31] dan dia memasukkan dua syair sebagai berikut: “Engkau yang menyala oleh kasih Allah, engkau menunjukkan pada semua hal-hal yang baik, ya yang terberkati Agustinus”. [32]
Nikodemus menunjuk pada Agustinus sebagai yang “ilahi dan suci” (Theios kai ieros), menulis bahwa Agustinus adalah seorang guru yang hebat dan teolog “masyur dalam Gereja Kristus.” Nikodemus memujinya karena sejumlah buku-buku agung yang dikarangnya. Meskipun begitu dia menyesalkan bahwa sedikit sekali yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani bagi keperluan rohani dan kemajuan dari orang Orthodox Yunani. Dia mengatakan kita tercerabut (sterometha) dari kemakmuran rohani akan tulisan-tulisan bernilai itu. [33] Sehingga bagi Nikodemus, nama Santo Agustinus tertera dalam buku para suci dan juga dalam kalender (tanggal15 Juni) baik itu Yunani maupun Rusia.
Dalam patrologi modern dan buku pegangan dogmatik dari para penulis Orthodox, Agustinus termasuk di dalamnya. Dia memberikan ruang yang sejajar sebagai seorang bapa dan hirarki dari Gereja dan dipuji karena sejumlah besar tulisan-tulisannya yang hebat serta kedalamannya. [34] Juga, filsafat dari Santo Agustinus dihargai dan dianalisis oleh para pemikir Orthodox Yunani seperti Constantine Logothetis and Joannis Theodorakopoulos.[35]
Eusebius Stephanou menulis beberapa tahun yang lalu bahwa Santo Agustinus harusnya didudukkan kembali pada posisinya yang semestinya didalam Gereja. Hanya dalam ke-Orthodoxi-an pikiran-­pikirannya dapat secara obyektif dievaluasi karena kesalahan-kesalahan dari pihak barat didasarkan pada pikiran-pikirannya.[36]
Teolog Orthodox Yunani yang lain, menganggap Santo Agustinus sebagai seorang filsuf-teolog Orthodox. Karya terbaru yang simpati kepada Santo Agustinus diajukan oleh Metropolitan Yunani Utara, Uskup Augustinos Kantiotes. Sebuah simposium yang diselenggarakan di Tesaloniki dan tiga jilid kecil yang diterbitkan memuji karya-karya dan pengajaran Santo Agustinus. Karya-karya ini telah diedarkan untuk pemakaian secara umum. [37] Buku lainnya menyatakan bahwa “Santo Agustinus milik dari Gereja Kristus semesta yang tak terpisahkan, sama baik di Barat maupun di Timur, karena dia hidup sebelum skisma”. [38]
Seraphim Rose menulis sebuah buku kecil yang mencoba untuk membuktikan ke-tidakbersalahan Santo Agustinus dari persfektif Orthodox. [39] Pendekatan ini tidak secara menyeluruh diterima dalam ke-Orthodoxi-an. Masa kini, para teolog Orthodox menyerang Agustinus sebagai seorang pencetus dari pengajaran heretik.
Fr. John Romanides dan Fr. Michael Azkoul seeara tajam mengkritik Agustinus. Fr. Romanides dalam disertasi doktoralnya di Universitas Athena pada tahun 1957 secara kasar menilai Agustinus sebagai sumber segala heretik barat dan perubahan dogma.
Romanides, dalam karyanya, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine, secara tegas menyerang karya dan doktrin Agustinus sebagai heretik. Dalam sebuah metode analitis, Romanides menekankan pada arah dari kesalahan-kesalahan filsafat teologis Agustinus mengenai filioque. Kesalahan mendasar Agustinus dalam penolakannya terhadap “pembedaan antara yang persona dan yang substansinya (meskipun ini adalah sebuah pembedaan biblis) dan menyamakan yang Allah dengan yang atributNya.” [40] Lalu Romanides menyalahkan Agustinus dengan mengatakan bahwa dia “tidak akan pernah memahami pembedaan antara (1) esensi dan energi dari Tritunggal Kudus, (2) ke-individualitasan yang tak terungkapkan dari hipostasis-hipostasis ilahi.” [41]
Romanides mengkritisasi Agustinus karena berspekulasi mengenai doktrin dari Tritunggal Kudus. Dia menganggap bahwa Agustinus dibingungkan antara “diperanakkan” dan dikeluarkan” serta menyamakan mereka dengan energi-energi ilahi.[42].
Presuposisi teologis Agustinus keliru karena dia menolak tradisi patristik. Presuposisinya, menurut Romanides, adalah didasarkan pada hermeunetika kitab suci dan filsafat dan bukan pada bapa-bapa Gereja. Kritik yang pertama, seseorang yang menguraikan dengan basis kitab suci yakni yang Agustinus lakukan, akan mengalami rnisinterpretasi menyeluruh terhadap Kitab Suci karena dia menyamakan Esensi Ilahi dengan energi-energi Ilahi. Dan yang kedua, atau secara filosofis, Romanides menganggap bahwa teologi Agustinus didasarkan pada Neoplatonisme. Yaitu, sebuah model dari jiwa manusia yang digunakan sebagai sebuah gambar memadai dari Tritunggal Kudus. [43]
Michael Azkoul, seorang konservatif, dan teolog yang memegang teguh kalender tua, secara sama menyerang teologi Agustinus dan karya­-karyanya dianggap heretik. Dia menekankan bahwa Agustinus tidaklah dikenal di Timur dan hingga sekarang pun dia tidak dimasukkan dalam daftar dari para orang suci. Dia menyatakan bahwa, “Tulisan-tulisannya adalah bohong yang mendasari setiap heretik yang sekarang menimpa keyakinan di Barat.” [44]
Dalam salah satu bukunya, Azkoul menghadirkan dan mendukung dasar tesisnya bahwa Agustinus jatuh ke dalam beberapa heretik dan menjadi sumber bagi ke-heretikan Barat dan karena alasan itulah dia tidak dimasukkan ke dalam daftar orang suci Orthodox. Dia menyalahkan Agustinus bagi perubahan bentuk teologi dari Barat. [45]

KESIMPULAN
Dalam mengkaji ulang literatur Orthodox Yunani kita melihat bahwa para teolog Orthodox Yunani adalah sangat kritis pada Agustinus dan kesalahan-kesalahannya. Meskipun begitu, tidak dimanapun akan kita temukan bukti dalam tulisan-tulisan patristik bagi anggapan bahwa namanya harus disingkirkan dari daftar para suci. Di mulai dengan Photios, secara umum, Orthodox Yunani merasa bahwa Agustinus sebagai seorang suci yang doktrin-doktrinnya telah diubah atau di-distorsif-kan oleh Barat dan bahwa sebagai manusia dia dikelirukan pada ajaran-ajaran tertentunya. Sebagai Orthodox Yunani kita menghormati pribadi dari Santo Agustinus. Pandangan Vladimir Lossky yang, melalui sebuah pemahaman yang lebih baik akan Agustinus di Timur, adalah mungkin untuk menjembatani dua posisi dalam teologi. Mengutip Lossky: “Rekonsiliasi akan terwujud dan filioque tidak akan langgeng sebagai suatu “impedimentum dirmens” (penundaan yang diperlukan-penerj) saat ketika Barat, yang mana telah dibekukan begitu lamanya dalam kungkungan dogmatis, berhenti mengganggap teologi Byzantin sebagai sebuah inovasi absurd yang mana ditemukan dalam sebuah bentuk yang kurang tegas di dalam para Bapa Gereja dari abad-abad pertama Gereja. “ [46]
Saya berkeinginan untuk mengakhirinya dengan Kidung Apolitikion yang dilagukan dalam Gereja Orthodox pada tanggal 15 Juni, Pesta dari Santo Agustinus:

“Ya yang terberkati Agustinus, engkau yang telah dibuktikan menjadi suatu bejana kebijaksanaan dari sang Roh Kudus dan pengungkap dari kota Allah; engkau juga yang secara layak melayani sang Juruselamat sebagai seorang bijaksana yang mengempan Allah. Ya bapa yang benar, berdoalah pada Kristus Allah kiranya dia menganugerahi kita belas kasihan yang besar. “[47]

[1] J.P. Migne, Patrologiae Cursus Completus. Series Graeca. Vol. 102, Book 2. Paris (1857-1866), c. 352, cited as PG. Photios, Mystagogia, 71.
[2] Photios, Mystagogia, 67. PG 102, c.345. Saint Photios. The Mystagogy of the Holy Spirit. Trans. Joseph P. Farrell. (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1987)p.91
[3] Farrell, p.91.
[4] Photios, Mystagogia, 67; Farrell, p.91.
[5] Farrell, The Mystagogy, 69, p.93; PG 102, c. 352; Mystagogia. 70.
[6] Letter of Photios to Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber, 117. PG 102, c.809.
[7] Ibid.
[8] PG 102, c. 809, 812 Letter to the Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber 117.
[9] Letter to Archibishop of Aquieleia, Liber 122, PG 102, c.816.
[10] Letter to the Archbishop of Aquieleia, Liber 125, PG 102, c.820. Konsili tahun 879-880 menghukum pra Karoligian tanpa menyebut mereka. Lihat John S. Romanides, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine; An Interplay Between Theology and Society (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1981) p. 66. [11] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.67
[12] Antonios Papadopoulos, Theologike Gnosiologia Kata Tous Niptikous Pateras (Thessalonike: Patriarchal Institute for Patristic Studies, 1977) pp. 79-81.
[13] “Marci Archiepiscopi Ephesii Oratio Prima de Igne Purgatorio,” Ch. 11 in Patrologia Orientalis, Vol. 15. Trans. and edited by Louis Petit. Turnhout/Belgique: Editions Brepols (1973) p. 53. See also Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church (platina, CA: Saint Herman of Alaska Brotherhood, 1983) p. 30.
[14] Theodoros N. Zeses, Gennadios B’ Scholarios Bios-Sygrammata-Didaskalia (Thessalonike: Patriarchal Institute of Patristic Studies, 1980) p. 455. Gennadios Scholarios. Oeuvres Completes (Paris: Maison de la Bonne Presse, 1929). Tome ii, p.64 . See also Demetri Z. Niketa. “The presence of Augustine in the Eastern church” (in Greek) Kleronomia Vol. 14, No.1 (June 1982) pp. 7-24.
[15] Scholarios, Oeuvres II, pp. 58-59
[16] Scholarios, Oeuvres Tome III, p. 83: alIa fasin, oti taut’ Augoustinos O makarios legei: All’ hemeis eis the ekklesian pisteuomen, en ai kanonikai grafai synistosi kai ai koinai ton piston synodi, ten Ekklesian Cristou paristanousai, auk eis Augoustinon, Dud’ eis Damaskenon.’
[17] Ibid.
[18] Scholarios, Oeuvres III, p. 59: kai eis tis fronei kai legei ton Augoustinon agion kaimakarion einai anathema.
[19] Scholarios, Oeuvres, III, p. 58.
[20] Ibid. III p.59.
[21] Ibid. III, p.58
[22] Scholarios, Oeuvres, II, p. 46.
[23] Ibid. p.47.
[24] Ibid. II, p. 48.
[25] Ibid. II, p. 48.
[26] Ibid.,II, p. 46: Rysai bernas, kyrie, tes Augoustiniou dialektikes.
[27] PG 160, c. 693.
[28] Scholarios, Oeuvres, II, p. 49: Augoustinon de kai tina allan ton didaskalon dynasthai tes aletheias en tini diamartanein hegoumetha, kan oposeoun agiosyne didaskalia dienegken.
[29] Scholarios, Oeuvres, III, p. 59: makarios esti kai sophos kai epainetos tes toiaytes philotimias. See also PG 160, c. 718.
[30] Nicodemos the Hagiorite, Synaxaristes Vol. 2. Athens: Constantine Ch. Spanos Publishing House (1868) p. 207 note. Dositheos makes reference to (blessed) Augustine, in his Homologia tes Orthodoxou Pisteos. (Athens, 1949) off Print from Theologia 20 (1949) pp. 147, 156.
[31] Ibid. Vol. 2, p.206.
[32] Ibid. Vol. 2, p.206.
[33] Ibid. Vol. 2, p.207. Dia juga merujuk pada terjemahan Yunani dari De Trinitate oleh Maximos Planoudes dan salinannya tersedia di Gunung Athos.
[34] Demetrios S. Balanos, Patrologia (The Ecclesiastical Fathers and Teachers of the First Eight Centuries) in Greek. (Athens: I.L. Alevropoulos Press, 1930) pp. 463-482. Dia memberikan sebuah analisa yang baik dari karya dan pengajaran Agustinus. Lihat juga Panagiotes K. Chrestou. Pateres kai Theologoi tau Christianismou Vol. 1. (Thessalonike: n.s., 1971) pp. 257-269. Dia mencirikan Agustinus sebagai salah satu dari pengajar universal teragung dari Gereja dan salah satu dari filsuf terpenting dunia.” p.157. Constantine G. Bonis. “Ho Hagios Augustinos Episkopos Hipponos.” Epistemonike Eperteris tes Theo1ogikes Scholes Panepistemiou Athenon Vol. 15 (1965) pp. 535-632.
[35] Constantine I. Logothetis, He Philosophia ton Pateron kai tau Mesou Aionos (Athens: I. K. Kollaros Press, 1930) pp. 278-344. And Ioannis N. Theodorakopoulos. “Ho Hieros Augoustinos.” Philosophika kai Christianika Meletimata. (Athens: G. Rode Brs. Press, 1973) pp. 95-187. Kedua pengarang tersebut memuji filsafat Agustinus sebagai salah satu dari filsuf Kristen teragung dunia. Mereka memberikan analisa yang baik sekali mengenai filsafatnya.
[36]
[37] Eusebious Papastephanou, Christianismos kai philosophia (Athen: n.p., 1953) p.14, n. 1. See also: Theodore Stylianopoulos. “The Filioque: Dogma, Theologoumenon or Error?” Spirit of Truth: Ecumenical Perspectives on the Holy Spirit. Theodore Stylianopooulos and S. Mark Heim, eds. (Brookline: Holy Cross Orthodox Press, 1986) pp. 25-28. .
[38] Aimilianos Timiades, Ho Hieros Augoustinos (Thessalonike: Christianike Elpis Press, 1988) p. 7. Dalam bukunya ini pada halaman 324 kehidupan dan karyanya dihadirkan dan isinya dianalisis. Meskipun begitu, sang Pengarang tidak secara kristis mengevaluasi pikiran Agustinian dari perspektif Orthodox.
[39] Seraphim Rose, Place of Blessed Augustine, p. 30.
[40] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.74
[41] Ibid. p.74
[42] Ibid. p. 88.
[43] John Romanides, Dogmatike kai Symbolike Theologia tes Orthodoxou katholikes Ekklesias Vol. 1 (Thessalonike: P. Pournaras Press, 1973) p. 383. Lihat juga ktitiknya pada Agustinus dalam “Highlights in the Debate over Theodore of Mopuestia’s Christology dan Beberapa Saran-Saran untuk suatu Pendekatan yang ‘Segar’.” The Greek Orthodox Theological Review 5: 2 (Winter 1959-1960): 182-83.
[44] Michael Azkoul, The Teachings of the Holy Orthodox Church. Vol. 1 (Buena Vista, Co: Dormition Skete, 1986) p. 199. Lihat kritik buku ini oleh Bishop Chrysostomos of Oreoi in The Greek Orthodox Theological Review 32: 1 (Spring 1987) pp. 100-103.
[45] Michael Azkoul, The Influence of Augustine of Hippo on the Orthodox Church. Texts and Studies in Religion. Vol. 56. (Lewiston, NY: Edwin Mellen Press, 1990). Lihat tinjauan saya, The Greek Orthodox Theological Review 39:3-4. (1994) pp. 379-381.
[46] Vladimir Lossky, “The Procession of the Holy Spirit in Orthodox Trinitarian Doctrine.” In The Image and Likeness of God (Crestwood, NY: St. Vladimir’s Seminary Press, 1974) p. 96.
[47] Nikolaos S. Halzinikolaou, Voices in the Wilderness: An Anthology of Patristic Prayers (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1988) p. 109.

Sumber : Synaxis GOI Juli 2007

Gereja orthodox Indonesia

St. Agustinus dan Syahadat yang Diubah

oleh Persatuan Gereja Orthodox Indonesia pada 20 Januari 2011 jam 10:32

Santo Agustinus dalam Tradisi Orthodox Yunani
By Rev. Dr. George C. Papademetriou

Dalam beberapa dekade akhir, bukan hanya teologinya bahkan sosok Agustinus itu sendiri dianggap sebagai heretik (bidat-penerj) oleh beberapa teolog dalam Gereja Orthodox. Suatu serangan pada pribadinya menjadikan segelintir teolog, mengeluarkannya dari daftar para suci. Sementara itu, yang lain menyerukan teologi Orthodox untuk mengevaluasi dan menyusun kembali pribadi Agustinus bagi tempatnya yang sesungguhnya sebagai seorang teolog­-filsuf agung dari Gereja semesta.
Dalam tatanan untuk menjernihkan keberadaan Agustinus berkenaan kepada ke­Orthodoxi-an Yunani-nya, tesis saya dalam artikel ini menyatakan dia sebagai seorang “suci” dari Gereja dan tidak akan pernah menghapusnya dari daftar para suci. Adalah benar bahwa beberapa pengajarannya begitu tingginya dikritik dan dicap sebagai heretik, namun ini terjadi setelah kematiannya. Kontroversi doktrinal yang teramat sangat penting yang berkisar di sekitar namanya adalah filioque. Doktrin lain yang tidak diterima oleh Gereja adalah pandangannya tentang dosa asal, doktrin rahmat, dan predestinasi. Penekananku dalam artikel ini adalah untuk menghadirkan tulisan-tulisan Orthodox, baik itu yang kuno maupun modern, mengenai pribadi dan teologi Agustinus.

SANTO PHOTIOS
St. Photius
 Teolog utama-pertama dari Gereja Orthodox yang mendekat untuk mencengkeram filioque adalah Santo Photius yang juga berurusan dengan pribadi Santo Agustinus. Dia membuat argumen yang menyatakan bahwa seorang suci yang keliru mengenai suatu doktrin yang disusun sesudah dia mati adalah tidak layak dianggap bersalah sebagai heretik dan bahwa kekudusan dari pribadi itu tidaklah berkurang. Dalam kasus Agustinus ini, Santo Photius menduga bahwa tulisan-tulisannya di-distorsif-kan. Photius bertanya, “Bagaimana bisa seseorang yang terpercaya, yang setelah selang beberapa tahun, tulisan-tulisannya tidaklah distorsif ?”[1] Santo Photius bersikeras bahwa sekalipun tulisan-tulisan itu otentik dan orang Latin mengutip tulisan-tulisan tersebut untuk mendukung pengajaran-pengajaran palsu mereka, mereka melakukan sebuah tindakan yang merugikan bagi bapa-bapa Gereja ini. Photius menyatakan, “Bacalah Ambrosius atau Agustinus atau bapa gereja mana saja yang engkau pilih : yang manakah dari mereka yang berkeinginan mengiyakan apapun yang berlawanan dengan suara sang Guru ?” Lebih jauh, dia berkata :"Walaupun Para Bapa (St. Agustinus, St. Ambrosius, St. Jerome) yang mengajarkan pendapat-pendapat yang demikian (Filioque), namun mereka tidak mengurangi, menambah atau mengubah pernyataan-pernyataan yang benar itu (Syahadat), lalu kemudian engkau (Katolik Roma) mengajarkan kata-katamu sebagai sebuah dogma juga, ini adalah fitnah lainnya yang melawan bapa-bapamu, menambahkan pendapat ke-egoan-mu ke dalam pengajaran dari para bapa ini”. [12] 
Photius berargumen bahwa meskipun para bapa ini diberkahi dengan kekudusan, mereka di saat yang sama adalah manusia dan tidak lepas dari kesalahan. Dan juga Photius menasihali orang-orang Latin untuk “membiarkan” Ambrosius dan Agustinus apa adanya. Dia menyatakan: “Meskipun mereka dihiasi dengan bayangan kemuliaan, mereka adalah manusia. Jika mereka tergelincir dan jatuh dalam kesalahan, oleh beberapa kelalaian atau kekeliruan, baiklah kita tidak melawannya atau memperdebatkan mereka. Karena, apakah untungnya bagimu ?” [3] 
Walaupun Agustinus dan Ambrosius memakai filioque, mereka tidaklah bermaksud untuk memasukkannya ke dalam Kredo. Penambahan filioque kepada Kredo adalah menyakitkan bagi Orthodox Yunani. Photius membuat ini nyata dalam pemyataan berikut :
“Karena mereka tidak, bahkan dalam tingkatan yang paling rendah, ikut serta dalam segala sesuatu itu, yang membuat engkau bertumbuh. Mereka yang lebih dihiasi dengan banyak teladan-teladan kebajikan dan kesalehan kemudian memasyurkan tiap pengajaranmu melalui kelalaian atau kekeliruan tidak akan pernah ditentukan sebagai dogma”. [14] 
Photius berpendapat bahwa para bapa, termasuk Ambrosius dan Agustinus, tidak mengajarkan kesalahan, namun jika mereka melakukannya, mereka adalah manusia, dan tak seorangpun manusia terbebas dan kesalahan. Dia berkata, “karena mereka adalah manusia seutuhnya (anthropoi) dan diciptakan, dan tak ada seorangpun yang disusun dari debu dan kodrat yang sementara saja dapat terhindar dari beberapa langkah dari kecemaran”. [5] 
Photius bersikeras bahwa meskipun orang suci tersebut, Ambrosius dan Agustinus, mungkin saja mengajarkan doktrin yang keliru mengenai filioque, tetapi mereka itu adalah
bagian terkecil. Mayoritas dari para bapa gereja, consensus partum, berada pada sisi doktrin yang benar dan yang harus kita ikuti. Photius menyatakan: “Jikalau Ambrosius, Agustinus dan Jerome yang agung serta beberapa lainnya yang adalah berpendapat sama dan pada tingkatan yang sama dan di saat yang sama memiliki reputasi besar akan kebajikan dan kehidupan yang masyur, mengajar diantara yang lain, bahwa sang Roh Kudus juga keluar dari sang Putera, hal ini tidaklah mengurangi pentingnya mereka bagi Gereja”. [6] 
Photius melanjutkan dalam paragrap yang sama, berargumen bahwa, adalah yang jelas dan utama untuk mengatakan pada mereka (Latin) bahwa, jika sepuluh atau bahkan duapuluh dari bapa gereja yang berbicara dalam hal yang sama itu, ribuan (myrion) dari bapa gereja tidak mengatakan hal-hal yang seperti itu. Dia berkata, “Siapakah kemudian yang mencerca bapa-bapa itu?” Dan, “Bukankah mereka yang terbatas kesalehannya dari bapa-bapa yang sedikit dalam kata-kata mereka yang diucapkan dan menaruhnya dalam pertentangan kepada sinode dan melebihkan yang sedikit kepada para bapa yang jumlahnya lebih besar yang mempertahankan doktrin sejati ?” Dia melanjutkan untuk bertanya pada orang Latin demikian, “Siapakah yang menjadi pelanggar (huvristes) dari Agustinus dan Jerome serta Ambrosius yang suci (ieron)? Bukankah dia yang memaksakan mereka untuk datang ke dalam pertentangan dengan majelis para Guru dan Pengajar? Atau apakah dia yang tidak melakukan apapun, namun meminta (axion) untuk mengikuti statuta dari para Guru ?” [7] 
Santo Photius menyarankan untuk membiarkan para bapa gereja Latin tersebut apa adanya, yang mana doktrin-doktrinnya berada dalam konflik dengan keputusan dari Kitab Suci dan Konsili-Konsili Ekumenis, karena dengan menggunakan mereka untuk mendukung kesalahan­-kesalahan dari orang-orang Latin, mereka membuka kesalahan-kesalahan dari orang-orang saleh ini. Respek yang pantas bagi orang-orang suci ini adalah mendiamkan kelemahan-kelemahan mereka.[8]
Lebih lanjut lagi, Photius menyarankan bahwa seseorang harusnya simpatik dengan bapa-bapa ini karena teologi mereka pada masa dari kebingungan kesejarahan yang mengarahkan mereka dari kesalahan­-kesalahan beberapa doktrin. Jadi, Photius mempertahankan bahwa dia yang mati, tidaklah hadir untuk membela dirinya sendiri dan tak seorangpun yang lain dapat mengerjakan pembelaannya. Dan karena alasan itu, tak seorang pun menduga akan membuat suatu dakwaan melawan dia (kategoros). [9]
Photius beralasan bahwa pada Konsili bersama tahun 879-880, utusan dari Roma Lama (Vatikan-penerj.) setuju dengan teologi dari Roma Baru (Konstantinopel-penerj.), bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa. Pada konsili itu semua setuju mengenai Kredo Kudus dan Konsili-Konsili Ekumenis menyegelnya dengan tanda tangan iman mereka bahwa sang Roh Kudus dikeluarkan hanya dari sang Bapa; dan bahwa Roma Lama dalam pribadi dari Paus Yohanes melalui wakil­-wakilnya (topoteritai) berada dalam komuni dengan Photius dan Gereja Konstantinopel karena mereka berada dalam kesesuaian dalam teologi mereka. [10]
lnilah bukti nyata yang jelas dari awalnya bahwa Photius tidak meniadakan Agustinus dari daftar para suci dan bapa-bapa Gereja, walaupun dia menerima bahwa Agustinus, sebagai seorang manusia, keliru dalam beberapa masalah-masalah doktrinal. Ini adalah penjelajahanku dari beberapa referensi yang berkenaan pada Agustinus dalam tulisan dari Santo Photius. Kekudusan dan kebajikan adalah permanen dalam kedengkian dari kelemahan manusia yang jatuh ke dalam kegagalan. Agustinus, di mata Santo Photius dan orang-orang Byzantin, tetap tinggal sebagai salah seorang dari para bapa Gereja Barat-Latin.


HESIKASME DAN AGUSTINUS

Agustinus pada dirinya sendiri tidaklah secara pribadi diserang oleh para Hesikasme (pelaku perenungan diri mendalam­penerj) dari abad ke empat belas namun teologi Agustinus dihukum dalam pribadi Barlaam, yang menyebabkan kontroversi. Hasil akhir ini menuai penghukuman pada para pengikut Agustinian barat yang dihadirkan di Timur oleh rahib Salabrian, Barlaam, dalam Konsili-Konsili dari abad ke empat belas.
Palamas, sang protagonist (penyokong-penerj.) Orthodox, menulis banyak risalah-risalah melawan filioque dan dasar presuposisi (asumsi-asumsi-penerj.) teologikal filsafat dari teologi Latin. Santo Gregorius Palamas mengikuti presuposisi teologikal para Bapa Kappadokia dan mempertahankan bahwa esensi Allah sepenuhnya transenden dan mendukung bukti akan partisipasi pribadi dalam energi-energi yang tak terciptakan. Bahwa adalah, dia menentang identitas dari esensi yang dipertalikan dalam Allah. Konflik dari teologi pewahyuan ini didasarkan pada Agustinian, yang berasal dari Barat melalui Barlaam, yang menimbulkan reaksi penentangan. Pewahyuan bagi Palamas adalah secara langsung dialami dalam energi-energi ilahi dan adalah menolak untuk meng-konseptualisasi-kan pewahyuan. Pandangan para Agustinian akan pewahyuan melalui penciptaan simbol-simbol dan penerangan visi, ditolak. Bagi Agustinian, visi Allah adalah sebuah pengalaman intelektual. lni tidak diterima oleh Palamas. Penekanan Palamas adalah bahwa sang ciptaan, termasuk manusia dan para malaikat, tidak dapat mengetahui atau memahami esensi Allah. [11]
Dalam pribadi Barlaam, Timur menolak teologi Agustinus. Timur menduga bahwa Agustinian menerima presuposisi neo-Platonik, bahwa yang suci mampu untuk memperoleh visi dari esensi ilahi sebagaimana pola dasar dari segenap yang ada. Barlaam berpendapat dibawah pengaruh neo-Platonis yang melalui ekstasis, penyebab keluarnya jiwa dari tubuh ketika dipergunakan dalam cara yang murni, seseorang yang memiliki visi dari pola dasar yang ilahi. Palamas menyebut ini kegagalan berhala Yunani dan mempertahankan bahwa manusia mencapai theosis melalui partisipasi dalam energi-energi ilahi. [12]
Belakangan, karena alasan politis, para kaisar Byzantin berusaha bersatu dengan Roma untuk menyelamatan kekaisaran. Sang Kaisar, Patriarkh dan sebuah delegasi datang ke Ferrara pada tahun 1438 untuk ikut serta pada sebuah konsili dengan sang Paus dan membawa penyatuan di antara orang-orang Yunani dan orang-orang Latin.
Dalam perdebatan antara orang-orang Yunani dan Latin, berkali-­kali kewenangan dari Agustinian mengemuka. Teolog Orthodox Yunani yang tidak mau menyerah, Mark Eugenikos, menggunakan karya Agustinus untuk mendukung pandangan-pandangannya. Dalam memandang pada kesalahan-kesalahan Agustinus, dia mencoba menempatkannya dalam terang terbaik yang paling mumpuni, mengikuti teladan Santo Photius. Dia membuat referensi pada Santo Gregorius Nyssa yang setuju dengan doktrin-doktrin Origenes. Dia berkata, “adalah akan lebih baik untuk memberikan mereka kebungkaman, dan tidak sepenuhnya memaksa kita, karena demi pembelaan kita, untuk membawa mereka keluar melalui pintu terbuka”. [13]

SANTO GENNADIUS SCHOLARIUS

Juga hadir pada Konsili di Ferrara-Florence, seorang teolog yang hebat, Gennadius Scholarius. Dia memahami bangsa Latin dan teologi Latin. Dia menterjemahkan beberapa risalah-risalah dari Thomas Aquinas ke dalam bahasa Yunani demi untuk kemudahan-kemudahan dari rekan-rekannya. Dia menghabiskan begitu banyak waktu mempelajari dan menulis mengenai Agustinus dalam debat tentang filioque. Scholarius mendekati Santo Agustinus dan semua bapa-bapa gereja yang lain sebagai individu-individu yang harus disesuaikan dengan dogma-­dogma dan pengajaran Gereja. Dia berkata, “kita percaya dalam Gereja; mereka (orang Latin) dalam Agustinus dan Jerome.” Gereja memegang teguh kepada dogma dan pengajaran Tuhan kita yang secara menyeluruh telah diberikan melalui para rasul dan konsili-konsili. [14]
Gennadius mengekspresikan pendapatnya bahwa tiada individu pribadi yang adalah “santo” dalam pengasingan. Dalam mana kasus bahwa Gereja akan patuh kepada para pengajar dan berubah menurut kepada pola tingkah personalitas yang kuat.
Gereja memiliki ukuran-ukurannya dan hukumnya sendiri untuk menyucikan seorang pribadi. Para suci dibimbing dan diarahkan melalui sang Roh Kudus, secara khusus mereka yang memiliki keutamaan dalam kebajikan dan kekudusan. Bimbingan sang Roh Kudus bagi para suci ini bukan berarti bahwa mereka adalah satu. Para suci memiliki pikiran-pikiran mereka sendiri yang dapat saja bertolak belakang dengan pengajaran Allah, demikian juga tindakan-tindakan mereka, karena tiada seorangpun yang tanpa kesalahan atau dosa (hamartema). [l5]
Pada titik ini, bahwa para suci dapat salah, Scholarius memperkuat argumennya melawan orang-orang Latin yang mendasarkan doktrin palsu mereka dari filioque mengenai validitas dan kekudusan Agustinus. Scholarius mengkonstruksi kasusnya sebagai berikut: "Mereka (Katolik Roma) menyatakan bahwa yang terberkati St. Agustinus mengatakan hal­-hal ini (Penambahan kata "Filioque" dalam Syahadat). Namun kita tidak percaya satu manusia pun baik dalam St. Agustinus maupun dalam St. Yohanes Damaskinos, tetapi kepercayaan kita didasarkan dalam Gereja yang mana Kitab Suci yang kanonikal ditegaskan dan juga dimana Sinode-Sinode menyeluruh (Konsili) dari umat beriman dipercayai, inilah Gereja Kristus." . [16]
Contoh lain yang dia berikan adalah Gregorius Nyssa yang keliru mengenai doktrin eskatologi dan juga adalah seorang santo dari Gereja [17]. Dalam semua diskusi ini mengenai “Agustinus yang terberkati,” Scholarius tidak menolak kekudusan dan nilai pengajaran Agustinus. Dalam kenyataannya dia mengutuk mereka yang menolak kekurangsuciannya. Dia berkata: “barangsiapa yang tidak percaya dan tidak menyebut Agustinus suci dan terberkati, dia dikutuk.” [l8]
Dalam menjelaskan permasalahan ini, Scholarius beralasan bahwa doktrin-doktrin dari teolog barat harusnya dinilai menurut pada standar Kristen Orthodox Timur. lni karena kejelasan dari bahasa Yunani. Dia memberikan tiga argumen dalam mempertahankan posisi Kekristenan Timur sebagai yang unggul : bahwa bahasa Yunani lebih luas dan fleksibel daripada bahasa Latin demikian juga lebih jelas dalam arti. Dan, tentu saja, bahasa Yunani adalah sumber dan bahasa Latin. Dia memberi rujukan pada Agustinus, Athanasius, dan Gregorius sang Teolog yang menyatakan bahwa bahasa Latin sangat terbatas dan penyebab dan skisma antara Timur dan Barat.
Alasan kedua adalah rumusan dogma jelas dinyatakan dalam bahasa Yunani.[19] Bapa-bapa dan pengajar Timur merumuskan dogma­-dogma itu dengan amat sangat teliti karena mereka berjuang melawan doktrin-doktrin heretik. Karena alasan ini, rumusan dogma sangat mereka butuhkan untuk mengartikulasikan iman dengan ketelitian tinggi dalam tataran tidak untuk memberi para heretik kesempatan untuk menyerang mereka karena ketidak-akuratan dan ketidakjelasan mereka. [20]
Alasan ketiga yang dia berikan adalah bahwa dogma diberlakukan dalam bahasa Latin untuk mengekspresikan dirinya sendiri dalam terma-­terma universal dan umum (katholikoterais kai genidoterais lexesi), sebaliknya di Timur, para Bapa Gereja menggunakan nama-nama spesifik dan tepat (idikoterois onomasi) dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin Kekristenan. [21]
Scholarius mengemukakan bahwa Agustinus menerima dan mengembangkan fllioque atas dasar empat presuposisi sbb :

Agustinus berada dibawah pengaruh Hilarius yang diikutinya dan gurunya, Ambrosius. Dia menunjuk pada Jerome, yang memperoleh pendidikan di Timur dalam bahasa Yunani, terhindar dari bahasa filioque. Perbedaan antara Hilarius dan Ambrosius pada satu sisi dan Agustinus pada sisi yang lain adalah bahwa dua bapa Gereja yang pertama mengekspresikan sebuah pendapat pribadi sebaliknya Agustinus berjuang melawan segenap mereka yang mengekspresikan pandangan-pandangan berlawanan dengannya.[22]

Mengenai dasar Kitab Suci yang menyatakan bahwa sang Roh sebagai kuasa yang dikeluarkan dari sang Putera untuk menyembuhkan segenap yang sakit, demikian halnya sang Putera yang mengirim dan menghembuskan sang Roh pada para Rasul, Agustinus mentafsirkan bagian tersebut pada dasar dari pendapat Hilarius dan Ambrosius. [23]

Agustinus menggunakan model-model kemanusiaan yang melampaui batas-batas untuk menggambarkan Tritunggal Mahakudus dan karena alasan itulah dia jatuh dalam kesalahan.[24]

Agustinus mengikuti posisi Platonik bahwa Allah pada dasarnya adalah sang Baik (Agathon). Sang Baik secara kekal menurunkan (Aidios) sang Akal (Nous). Sang Akal adalah penyebab dari segala sesuatu dan adalah juga disebut penyebab kedua, dan menunjuk pada “idea” dan “logos”. Dari akal, jiwa dunia memperoleh vitalitas bagi segenap mahluk yang hidup. Jadi, Scholarius menganggap bahwa Agustinus mentransfer pandangan ini ke dalam Trinitas Kekristenan. Sang “Baik” (Agathon) adalah tidak diperanakkan dan tidak terbatasi untuk dipahami (agenneton). Sang Akal (Nous) adalah diperanakkan hanya dari sang Baik. Sang Jiwa diturunkan dari sang Akal dan kembali kepada sang Baik. Sang Jiwa adalah koneksi relasional sebagai kasih antara sang Baik dan sang Akal. Pandangan-pandangan tersebut tidak hanya diterima oleh Plato, namun juga oleh Plotinus demikian halnya oleh sebagian besar heretik.[25]

Scholarius menyalahkan Agustinus karena pendekatan filosofisnya yang terkenal buruk bagi pewahyuan. Hal ini adalah pengaruh Manikeisme yang Agustinus alami pada waktu pra-Kristennya dalam keterlibatan dengan para heretik itu. Keberhalaannya dan teladan Manikeisme tetap ada tersisa dalam segenap kehidupannya. Faktanya, Scholarius berkata “Tuhan melepaskan kita dari dialektika Agustinian. “ [26]
Scholarius menerima bahwa Agustinus percaya dalam iman dari Gereja dan menyetujui Kredo Konstantinopolitan, [27] dalam kedengkian dari kenyataan bahwa dia keliru sebagai seorang individu manusia, [28] lni tidaklah menjauhkannya dari kekudusannya. Bagi Scholarius, Agustinus adalah pribadi “terberkati” bahkan “bijaksana” yang patut memperoleh pujian dan hormat [29]. Dia amat mengkritisi teologi Agustinus karena dia merasa bahwa dia tidak terlepas dari pengaruh pada saat berkutat dengan filsafat pagan Yunaninya sebelum dia berpindah ke Kristen.

PERIODE MODERN

Teolog Orthodox Yunani terkemuka abad ke tujuh belas, Dositheos, Patriarkh Yerusalem, menentang bahwa karya-karya dari Santo Agustinus dirusakkan dengan dan doktrin-doktrinnya yang distorsif. Karena alasan itu Orthodox tidak menerima mereka tanpa kehati-hatian. Tetapi seluruh karya mereka yang bersesuaian dengan ke-Orthodoxi-an amat sangat diterima. Dositheos sendiri menggunakan Agustinus yang “terberkati” untuk mendukung pandangan-pandangannya akan doktrin­-doktrin Orthodox. [30]
Teolog kenamaan dari abad ke delapan belas, Nikodemus Hagiorite, memasukkan nama Santo Agustinus dalam Synaxarites (buku para suci). Dia menyatakan sebagai berikut: “Dalam mengenang bapa kita diantara para suci, Agustinus, Uskup Hippo.” [31] dan dia memasukkan dua syair sebagai berikut: “Engkau yang menyala oleh kasih Allah, engkau menunjukkan pada semua hal-hal yang baik, ya yang terberkati Agustinus”. [32]
Nikodemus menunjuk pada Agustinus sebagai yang “ilahi dan suci” (Theios kai ieros), menulis bahwa Agustinus adalah seorang guru yang hebat dan teolog “masyur dalam Gereja Kristus.” Nikodemus memujinya karena sejumlah buku-buku agung yang dikarangnya. Meskipun begitu dia menyesalkan bahwa sedikit sekali yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani bagi keperluan rohani dan kemajuan dari orang Orthodox Yunani. Dia mengatakan kita tercerabut (sterometha) dari kemakmuran rohani akan tulisan-tulisan bernilai itu. [33] Sehingga bagi Nikodemus, nama Santo Agustinus tertera dalam buku para suci dan juga dalam kalender (tanggal15 Juni) baik itu Yunani maupun Rusia.
Dalam patrologi modern dan buku pegangan dogmatik dari para penulis Orthodox, Agustinus termasuk di dalamnya. Dia memberikan ruang yang sejajar sebagai seorang bapa dan hirarki dari Gereja dan dipuji karena sejumlah besar tulisan-tulisannya yang hebat serta kedalamannya. [34] Juga, filsafat dari Santo Agustinus dihargai dan dianalisis oleh para pemikir Orthodox Yunani seperti Constantine Logothetis and Joannis Theodorakopoulos.[35]
Eusebius Stephanou menulis beberapa tahun yang lalu bahwa Santo Agustinus harusnya didudukkan kembali pada posisinya yang semestinya didalam Gereja. Hanya dalam ke-Orthodoxi-an pikiran-­pikirannya dapat secara obyektif dievaluasi karena kesalahan-kesalahan dari pihak barat didasarkan pada pikiran-pikirannya.[36]
Teolog Orthodox Yunani yang lain, menganggap Santo Agustinus sebagai seorang filsuf-teolog Orthodox. Karya terbaru yang simpati kepada Santo Agustinus diajukan oleh Metropolitan Yunani Utara, Uskup Augustinos Kantiotes. Sebuah simposium yang diselenggarakan di Tesaloniki dan tiga jilid kecil yang diterbitkan memuji karya-karya dan pengajaran Santo Agustinus. Karya-karya ini telah diedarkan untuk pemakaian secara umum. [37] Buku lainnya menyatakan bahwa “Santo Agustinus milik dari Gereja Kristus semesta yang tak terpisahkan, sama baik di Barat maupun di Timur, karena dia hidup sebelum skisma”. [38]
Seraphim Rose menulis sebuah buku kecil yang mencoba untuk membuktikan ke-tidakbersalahan Santo Agustinus dari persfektif Orthodox. [39] Pendekatan ini tidak secara menyeluruh diterima dalam ke-Orthodoxi-an. Masa kini, para teolog Orthodox menyerang Agustinus sebagai seorang pencetus dari pengajaran heretik.
Fr. John Romanides dan Fr. Michael Azkoul seeara tajam mengkritik Agustinus. Fr. Romanides dalam disertasi doktoralnya di Universitas Athena pada tahun 1957 secara kasar menilai Agustinus sebagai sumber segala heretik barat dan perubahan dogma.
Romanides, dalam karyanya, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine, secara tegas menyerang karya dan doktrin Agustinus sebagai heretik. Dalam sebuah metode analitis, Romanides menekankan pada arah dari kesalahan-kesalahan filsafat teologis Agustinus mengenai filioque. Kesalahan mendasar Agustinus dalam penolakannya terhadap “pembedaan antara yang persona dan yang substansinya (meskipun ini adalah sebuah pembedaan biblis) dan menyamakan yang Allah dengan yang atributNya.” [40] Lalu Romanides menyalahkan Agustinus dengan mengatakan bahwa dia “tidak akan pernah memahami pembedaan antara (1) esensi dan energi dari Tritunggal Kudus, (2) ke-individualitasan yang tak terungkapkan dari hipostasis-hipostasis ilahi.” [41]
Romanides mengkritisasi Agustinus karena berspekulasi mengenai doktrin dari Tritunggal Kudus. Dia menganggap bahwa Agustinus dibingungkan antara “diperanakkan” dan dikeluarkan” serta menyamakan mereka dengan energi-energi ilahi.[42].
Presuposisi teologis Agustinus keliru karena dia menolak tradisi patristik. Presuposisinya, menurut Romanides, adalah didasarkan pada hermeunetika kitab suci dan filsafat dan bukan pada bapa-bapa Gereja. Kritik yang pertama, seseorang yang menguraikan dengan basis kitab suci yakni yang Agustinus lakukan, akan mengalami rnisinterpretasi menyeluruh terhadap Kitab Suci karena dia menyamakan Esensi Ilahi dengan energi-energi Ilahi. Dan yang kedua, atau secara filosofis, Romanides menganggap bahwa teologi Agustinus didasarkan pada Neoplatonisme. Yaitu, sebuah model dari jiwa manusia yang digunakan sebagai sebuah gambar memadai dari Tritunggal Kudus. [43]
Michael Azkoul, seorang konservatif, dan teolog yang memegang teguh kalender tua, secara sama menyerang teologi Agustinus dan karya­-karyanya dianggap heretik. Dia menekankan bahwa Agustinus tidaklah dikenal di Timur dan hingga sekarang pun dia tidak dimasukkan dalam daftar dari para orang suci. Dia menyatakan bahwa, “Tulisan-tulisannya adalah bohong yang mendasari setiap heretik yang sekarang menimpa keyakinan di Barat.” [44]
Dalam salah satu bukunya, Azkoul menghadirkan dan mendukung dasar tesisnya bahwa Agustinus jatuh ke dalam beberapa heretik dan menjadi sumber bagi ke-heretikan Barat dan karena alasan itulah dia tidak dimasukkan ke dalam daftar orang suci Orthodox. Dia menyalahkan Agustinus bagi perubahan bentuk teologi dari Barat. [45]

KESIMPULAN
Dalam mengkaji ulang literatur Orthodox Yunani kita melihat bahwa para teolog Orthodox Yunani adalah sangat kritis pada Agustinus dan kesalahan-kesalahannya. Meskipun begitu, tidak dimanapun akan kita temukan bukti dalam tulisan-tulisan patristik bagi anggapan bahwa namanya harus disingkirkan dari daftar para suci. Di mulai dengan Photios, secara umum, Orthodox Yunani merasa bahwa Agustinus sebagai seorang suci yang doktrin-doktrinnya telah diubah atau di-distorsif-kan oleh Barat dan bahwa sebagai manusia dia dikelirukan pada ajaran-ajaran tertentunya. Sebagai Orthodox Yunani kita menghormati pribadi dari Santo Agustinus. Pandangan Vladimir Lossky yang, melalui sebuah pemahaman yang lebih baik akan Agustinus di Timur, adalah mungkin untuk menjembatani dua posisi dalam teologi. Mengutip Lossky: “Rekonsiliasi akan terwujud dan filioque tidak akan langgeng sebagai suatu “impedimentum dirmens” (penundaan yang diperlukan-penerj) saat ketika Barat, yang mana telah dibekukan begitu lamanya dalam kungkungan dogmatis, berhenti mengganggap teologi Byzantin sebagai sebuah inovasi absurd yang mana ditemukan dalam sebuah bentuk yang kurang tegas di dalam para Bapa Gereja dari abad-abad pertama Gereja. “ [46]
Saya berkeinginan untuk mengakhirinya dengan Kidung Apolitikion yang dilagukan dalam Gereja Orthodox pada tanggal 15 Juni, Pesta dari Santo Agustinus:

“Ya yang terberkati Agustinus, engkau yang telah dibuktikan menjadi suatu bejana kebijaksanaan dari sang Roh Kudus dan pengungkap dari kota Allah; engkau juga yang secara layak melayani sang Juruselamat sebagai seorang bijaksana yang mengempan Allah. Ya bapa yang benar, berdoalah pada Kristus Allah kiranya dia menganugerahi kita belas kasihan yang besar. “[47]

[1] J.P. Migne, Patrologiae Cursus Completus. Series Graeca. Vol. 102, Book 2. Paris (1857-1866), c. 352, cited as PG. Photios, Mystagogia, 71.
[2] Photios, Mystagogia, 67. PG 102, c.345. Saint Photios. The Mystagogy of the Holy Spirit. Trans. Joseph P. Farrell. (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1987)p.91
[3] Farrell, p.91.
[4] Photios, Mystagogia, 67; Farrell, p.91.
[5] Farrell, The Mystagogy, 69, p.93; PG 102, c. 352; Mystagogia. 70.
[6] Letter of Photios to Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber, 117. PG 102, c.809.
[7] Ibid.
[8] PG 102, c. 809, 812 Letter to the Metropolitan Archbishop of Aquieleia, Liber 117.
[9] Letter to Archibishop of Aquieleia, Liber 122, PG 102, c.816.
[10] Letter to the Archbishop of Aquieleia, Liber 125, PG 102, c.820. Konsili tahun 879-880 menghukum pra Karoligian tanpa menyebut mereka. Lihat John S. Romanides, Franks, Romans, Feudalism and Doctrine; An Interplay Between Theology and Society (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1981) p. 66. [11] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.67
[12] Antonios Papadopoulos, Theologike Gnosiologia Kata Tous Niptikous Pateras (Thessalonike: Patriarchal Institute for Patristic Studies, 1977) pp. 79-81.
[13] “Marci Archiepiscopi Ephesii Oratio Prima de Igne Purgatorio,” Ch. 11 in Patrologia Orientalis, Vol. 15. Trans. and edited by Louis Petit. Turnhout/Belgique: Editions Brepols (1973) p. 53. See also Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church (platina, CA: Saint Herman of Alaska Brotherhood, 1983) p. 30.
[14] Theodoros N. Zeses, Gennadios B’ Scholarios Bios-Sygrammata-Didaskalia (Thessalonike: Patriarchal Institute of Patristic Studies, 1980) p. 455. Gennadios Scholarios. Oeuvres Completes (Paris: Maison de la Bonne Presse, 1929). Tome ii, p.64 . See also Demetri Z. Niketa. “The presence of Augustine in the Eastern church” (in Greek) Kleronomia Vol. 14, No.1 (June 1982) pp. 7-24.
[15] Scholarios, Oeuvres II, pp. 58-59
[16] Scholarios, Oeuvres Tome III, p. 83: alIa fasin, oti taut’ Augoustinos O makarios legei: All’ hemeis eis the ekklesian pisteuomen, en ai kanonikai grafai synistosi kai ai koinai ton piston synodi, ten Ekklesian Cristou paristanousai, auk eis Augoustinon, Dud’ eis Damaskenon.’
[17] Ibid.
[18] Scholarios, Oeuvres III, p. 59: kai eis tis fronei kai legei ton Augoustinon agion kaimakarion einai anathema.
[19] Scholarios, Oeuvres, III, p. 58.
[20] Ibid. III p.59.
[21] Ibid. III, p.58
[22] Scholarios, Oeuvres, II, p. 46.
[23] Ibid. p.47.
[24] Ibid. II, p. 48.
[25] Ibid. II, p. 48.
[26] Ibid.,II, p. 46: Rysai bernas, kyrie, tes Augoustiniou dialektikes.
[27] PG 160, c. 693.
[28] Scholarios, Oeuvres, II, p. 49: Augoustinon de kai tina allan ton didaskalon dynasthai tes aletheias en tini diamartanein hegoumetha, kan oposeoun agiosyne didaskalia dienegken.
[29] Scholarios, Oeuvres, III, p. 59: makarios esti kai sophos kai epainetos tes toiaytes philotimias. See also PG 160, c. 718.
[30] Nicodemos the Hagiorite, Synaxaristes Vol. 2. Athens: Constantine Ch. Spanos Publishing House (1868) p. 207 note. Dositheos makes reference to (blessed) Augustine, in his Homologia tes Orthodoxou Pisteos. (Athens, 1949) off Print from Theologia 20 (1949) pp. 147, 156.
[31] Ibid. Vol. 2, p.206.
[32] Ibid. Vol. 2, p.206.
[33] Ibid. Vol. 2, p.207. Dia juga merujuk pada terjemahan Yunani dari De Trinitate oleh Maximos Planoudes dan salinannya tersedia di Gunung Athos.
[34] Demetrios S. Balanos, Patrologia (The Ecclesiastical Fathers and Teachers of the First Eight Centuries) in Greek. (Athens: I.L. Alevropoulos Press, 1930) pp. 463-482. Dia memberikan sebuah analisa yang baik dari karya dan pengajaran Agustinus. Lihat juga Panagiotes K. Chrestou. Pateres kai Theologoi tau Christianismou Vol. 1. (Thessalonike: n.s., 1971) pp. 257-269. Dia mencirikan Agustinus sebagai salah satu dari pengajar universal teragung dari Gereja dan salah satu dari filsuf terpenting dunia.” p.157. Constantine G. Bonis. “Ho Hagios Augustinos Episkopos Hipponos.” Epistemonike Eperteris tes Theo1ogikes Scholes Panepistemiou Athenon Vol. 15 (1965) pp. 535-632.
[35] Constantine I. Logothetis, He Philosophia ton Pateron kai tau Mesou Aionos (Athens: I. K. Kollaros Press, 1930) pp. 278-344. And Ioannis N. Theodorakopoulos. “Ho Hieros Augoustinos.” Philosophika kai Christianika Meletimata. (Athens: G. Rode Brs. Press, 1973) pp. 95-187. Kedua pengarang tersebut memuji filsafat Agustinus sebagai salah satu dari filsuf Kristen teragung dunia. Mereka memberikan analisa yang baik sekali mengenai filsafatnya.
[36]
[37] Eusebious Papastephanou, Christianismos kai philosophia (Athen: n.p., 1953) p.14, n. 1. See also: Theodore Stylianopoulos. “The Filioque: Dogma, Theologoumenon or Error?” Spirit of Truth: Ecumenical Perspectives on the Holy Spirit. Theodore Stylianopooulos and S. Mark Heim, eds. (Brookline: Holy Cross Orthodox Press, 1986) pp. 25-28. .
[38] Aimilianos Timiades, Ho Hieros Augoustinos (Thessalonike: Christianike Elpis Press, 1988) p. 7. Dalam bukunya ini pada halaman 324 kehidupan dan karyanya dihadirkan dan isinya dianalisis. Meskipun begitu, sang Pengarang tidak secara kristis mengevaluasi pikiran Agustinian dari perspektif Orthodox.
[39] Seraphim Rose, Place of Blessed Augustine, p. 30.
[40] Romanides, Franks, Romans, Feudalism, p.74
[41] Ibid. p.74
[42] Ibid. p. 88.
[43] John Romanides, Dogmatike kai Symbolike Theologia tes Orthodoxou katholikes Ekklesias Vol. 1 (Thessalonike: P. Pournaras Press, 1973) p. 383. Lihat juga ktitiknya pada Agustinus dalam “Highlights in the Debate over Theodore of Mopuestia’s Christology dan Beberapa Saran-Saran untuk suatu Pendekatan yang ‘Segar’.” The Greek Orthodox Theological Review 5: 2 (Winter 1959-1960): 182-83.
[44] Michael Azkoul, The Teachings of the Holy Orthodox Church. Vol. 1 (Buena Vista, Co: Dormition Skete, 1986) p. 199. Lihat kritik buku ini oleh Bishop Chrysostomos of Oreoi in The Greek Orthodox Theological Review 32: 1 (Spring 1987) pp. 100-103.
[45] Michael Azkoul, The Influence of Augustine of Hippo on the Orthodox Church. Texts and Studies in Religion. Vol. 56. (Lewiston, NY: Edwin Mellen Press, 1990). Lihat tinjauan saya, The Greek Orthodox Theological Review 39:3-4. (1994) pp. 379-381.
[46] Vladimir Lossky, “The Procession of the Holy Spirit in Orthodox Trinitarian Doctrine.” In The Image and Likeness of God (Crestwood, NY: St. Vladimir’s Seminary Press, 1974) p. 96.
[47] Nikolaos S. Halzinikolaou, Voices in the Wilderness: An Anthology of Patristic Prayers (Brookline, MA: Holy Cross Orthodox Press, 1988) p. 109.

Sumber : Synaxis GOI Juli 2007